kata-kata mutiara

Presiden Soekarno mengatakan :
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya"

Presiden John Fitzgerald Kennedy mengatakan :
"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu."

Sabtu, 24 September 2011

URIA LAN'NA MENUNTUT BALAS ATAS KEMATIAN URIA RIN'NYAN


Untuk menjaga keutuhan kepemimpinan didaerah Lasi-Muda dan sekitarnya setelah mendengar berita duka tentang Uria Rin'nyan, maka diangkatlah Dam'mong Balle sebagai pemimpin. Kemudian Lasi-Muda berubah namanya menjadi Dayu.

Dam'mong Balle lalu mengumpulkan sanak keluarga korban tragedi itu utnuk mempersiapkan upacara kematian, yaitu Mi'a dan Ngadaton.

Setelah upacara kematian selesai diadakan, maka berangkatlah Uria Lan'na ke Bandar Maseh untuk menuntut balas kematian adiknya. Perginya Uria Lan'na ke Bandar Maseh dengan melewati sungai Sirau, terus mengikuti aliran sungai Barito untuk selanjutnya ke arah Bandar Maseh. Dalam keadaan tertidur karena hari sudah malam Uria Lan'na terbawa arus pasang naik, sehingga perahu yang ditumpanginya masuk sungai Tabalong dan tiba didaerah Negara. Dalam perjalanan tersebut Uria Lan'na membawa 100 batang alu yang sudah dipakai untuk menumbuk padi, serta sebuah mandau yang dinamakan Lansar Tewo Mea. Kedatangan Uria Lan'na pada waktu pagi hari berikutnya membuat kegemparan serta kepanikan penduduk Negara yang dikiranya adalah kota Bandar Maseh.

Setelah mendengar kedatangan Uria Lan'na di kota Negara dan sekitarnya kemudian melebar menuju Bandar Maseh maka datanglah utusan Sultan untuk minta berdamai. Sultan Suriansyah berjanji akan mengganti nyawa Uria Rin'nyan dengan syarat tidak lagi melakukan aksi diberbagai daerah. Tawaran tersebut diterima dengan senang hati oleh Uria Lan'na, asal janji itu tidak hanya kata-kata belaka.

Aksi yang dilakukan oleh Uria Lan'na dapat dihentikan oleh Sultan dengan memberikan puterinya sendiri, yaitu Puteri Mayang Sari dari hasil perkawinan dengan isteri yang kedua yaitu Puteri Norhayati.

Kemudian kesepakatan damai dilakukan oleh Sultan terhadap Uria Lan'na dengan cara pembayaran semua hukum adat orang-orang Ma'anyan yang dinamakan Bayar Adat Bali. Penyerahan Puteri Mayang Sari oleh Sultan dengan syarat bahwa antara Uria Lan'na tidak boleh mengawini puterinya karena mereka berdua adalah bersaudara yang satu darah dan keturunan yang telah disyahkan secara adat Ma'anyan.

Sesudah penyerahan Puteri Mayang Sari oleh Sultan Suriansyah, nama Uria Lan'na berubah menjadi Uria Mapas lebih populer dengan nama 'Uria Mapas Negara' (penamaan 'Mapas Negara' karena aksi awal Uria Lan'na memapas daerah Negara).

Kisah selanjutnya adalah Puteri Mayang Sari di Sangarasi


Borobudur Temple & Travel People Maanyan to Madagascar




Apakah gambar pada salah satu relief di Candi Borobudur menceritakan perjalanan orang Ma'anyan ke pulau Madagaskar?

Mengingat tulisan Rolland Oliver dan Brian M. Fagan dalam bukunya "Africa in the Iron Age" tahun 1978, yang mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945 - 946 M, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik.

Masa kejayaan agama Budha di Nusantara :
- Kerajaan Sriwijaya masa keberadaannya 671 - 1182 M,
- Candi Borobudur dibangun antara tahun 750 - 850 M,
- Kerajaan Sriwijaya banyak melakukan perlawanan terhadap kerajaan lain pada tahun 900-an M.

Asumsi saya, setiap bingkai relief di Candi Borobudur mengkisahkan atau menceritakan kondisi Nusantara pada waktu masa kejayaan agama Budha.

Yang menarik, Kerajaan Sriwijaya, NanSarunai dan Majapahit. Dalam perjalanan sejarahnya menggunakan perahu bercadik ini.

Kalau kita membaca buku tulisan Sanusi Pane, Sejarah Indonesia I, tahun 1965 halaman 58 - 59. Kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga sebagian Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929 - 947 M, maka besar kemungkinan ahli sastra/seniman pada masa itu mengabadikan peristiwa tersebut ( orang Ma'anyan melakukan evakuasi besar-besaran dengan menggunakan 1000 buah perahu bercadik pada tahun 945 - 946 M) pada relief Candi Borobudur.

Mungkin alasan lain yg mendasari  pemikiran dalil tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Orang Ma'anyan mengenal nama-nama rasi bintang  yaitu :
1.       Lewu Magariwai
2.       Kaliangan Nabe
3.        Awahat
4.       Owoi Posi Nalau
5.       Owoi Posi Magariwai
6.       Sungkang Eha
7.       Ulet Wadi
8.       Dada Awahat
9.       Tadi Puhet Awahat
10.    Puhet Awahat
11.   Panyarawan
12.   Mate And'rau Adiau.
  1. Orang  Ma’anyan mengenal nama-nama bulan yaitu :
1.       Kasa  = Agustus
2.       Karo = September
3.       Katiga = Oktober
4.       Kapat = November
5.       Kalima = Desember
6.       Kaanam = Januari
7.       Kapito = Februari
8.       Kawalo = Maret
9.       Kasanga = April
10.   Kasapolo’h = Mei
11.   Kasawalas = Juni
12.   Kaduawalas = Juli
Mungkin sebelum tahun 945-946 M, orang Ma’anyan  pernah ke Madagaskar menggunakan petunjuk rasi bintang dan bulan kalender.
Ya, lagi-lagi ini sekedar dalil saja.he3

saya berpendapat orang Ma'anyan ini :
-          bangsa pelaut
-          kegiatannya berdagang
-          hidup di daerah pesisir (hikayat Ma’anyan lokasinya di Kayu Tangi sekitarnya)
-          bukan tipe bangsa penjajah,
-         tidak pernah mengekspansi wilayah/kedaulatan bangsa lain (dalam hikayat Ma’anyan tidak ada menceritakan hal ini)
-         lebih suka melakukan tindakan menghindar bila ada hal yang mengancam/mengganggu keberadaannya (sebagai contoh setelah peristiwa Nansarunai Usak Jawa, masuknya agama Hindu dibawa oleh Majapahit, dan masuknya agama Islam oleh Pangeran Suriansyah). Mereka memilih/melakukan tindakan menyingkir sampai  kepedalaman.
-         Hanya ada dua peristiwa kontak senjata/perlawanan dalam hikayat Ma’anyan   yaitu aksi perlawanan Indong dan Jarang  di masa akhir Nansarunai dan aksi Uria Lan’na ketika memapas daerah Negara menuntut keadilan terhadap Pangeran Suriansyah.
Pada masa itu tidak dikenal alat kompas.
Pedoman melakukan pelayaran menggunakan rasi bintang dan bulan kalender.
Rasi bintang dan bulan kalender menentukan kapan Arus Musim Dingin dan Arus Musim Panas,
yang baik untuk mengadakan suatu pelayaran.
Kembali ke tahun 945-946 M, mengadakan sebuah pelayaran dengan 1000 buah perahu bercadik menempuh jarak 3000 mil tentunya memerlukan pedoman tersebut.
Kira2 begitulah pemikiran saya.


Kamis, 22 September 2011

KEMBALINYA MA' KARUWANG KE LASI MUDA (DAYU)

Sesampainya Ma' Karuwang dipondok ia mendehem tiga kali, dan seorang laki-laki setengah baya bangun dari tidurnya seraya m"lihat kearah Ma' Karuwang dengan mata terbelalak. 'Aku bukan setan atau jin, bukan pula siluman, melainkan manusia juga seperti saudara', kata Ma' Karuwang meyakinkan orang itu. 'Selamat pagi, tuan, kata Ma' Karuwang. Orang yang duduk dalam pondok itu itu tidak menyahut.

Dalam hati orang yang ada didalam pondok itu,barangkali yang ada dihadapannya itu setan, tetapi melihat bentuknya manusia. Dibilang manusia, mengapa berpakaian dari kulit kayu, cuma ada kain yang melilit dipinggangnya yaitu kain sindai, yang menandakan ia bukan setan. Wajahnya berjenggot lebat berjambang kotor berbadan kecil dan pendek. 'Selamat pagi, kata Ma' Karuwang sekali lagi. Saya adalah Ma' Karuwang yang dahulu berangkat ke Bandar Maseh bersama-sama Uria Rin'nyan'. 'Oh, bapak berasal dari Lasi-Muda?' ya, betul saya adalah orang Lasi-Muda, sahut Ma' Karuwang lagi. 'Kalau begitu silahkan naik', kata orang yang ada dalam pondok. Seterusnya keduanya tenggelam dalam pembicaraan mengenai, pengalamannya sebagai penjaga kebun buah-buahan. 'Buah-buahan tahun ini lebat', katanya.

'Memang tahun ini adalah tahun yang baik', kata Ma' Karuwang. Setelah Ma' Karuwang kenyang disuguhkan makan buah-buahan dari kebun sipenjaga pondok ia menanyakan jalan pulang kearah Lasi-Muda.'Perjalanan ke Lasi-Muda masih jauh dari sini, perlu waktu hampir satu hari.

Sayang isteri dan anak-anak saya baru kemarin datang kesini untuk mengantarkan bekal, jadi mereka baru datang kembali sekitar satu bulan lagi. Mereka tinggal pada sebuah perladangan, perjalanannya setengah hari dari sini. Saya dilengkapi makanan cukup untuk persediaan satu bulan lamanya. Kalau sampai satu bulan lagi isteri dan anak-anak saya datang mengantar bekal, lalu kembali membawa buah-buahan dari kebun ini. Kebun ini kalau tidak dijaga akan habis dimakan monyet dan binatang lainnya. Begitulah setelah satu bulan berlalu datanglah isteri dan anak-anak penjaga kebun untuk menengok ayah mereka sambil membawa bekal seperti biasa. Mereka tampak sangat kaget sewaktu melihat orang asing bersama-sama ayah mereka. Setelah dijelaskan oleh ayah mereka bahwa tamunya ini adalah Ma' Karuwang yang ikut rombongan Uria Rin'nyan ke Bandar Maseh, barulah mereka merasa lega. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh mereka kepada Ma' Karuwang yang dijawab oleh Ma'Karuwang hingga mereka puas. Setelah matahari bergeser ke barat berangkatlah Ma' Karuwang bersama mereka menuju perladangan. Sesudah matahari mulai terbenam sampailah mereka ke tempat perladangan atau bantai, yang dituju.

Malam itu banyak orang datang ke bantai ingin mendengar kabar dari Ma' Karuwang dan menanyakan riwayat perjalanannya yang sangat luar biasa. Setelah Ma' Karuwang menceritakan pengalamannya hidup bersama siluman babi hutan selama hampir tiga tahun, diceritakan juga bagaimana caranya membuat radang yang baik. Orang-orang di bantai itu kemudian menahan Ma' Karuwang supaya jangan segera pulang ke Lasi-Muda, karena mereka ingin diajarkan oleh Ma' Karuwang untuk membuat radang yang baik, karena babi hutan banyak sekali yang mengambil jatuhan buah-buahan mereka. Ladang padi yang mulai menguning dalam waktu satu malam saja ada yang habis tidak tersisa karena dilahap babi hutan. Di bantai mereka terdiri dari sekitar 15 orang kepala keluarga yang membuka ladang padi darat secara bersama-sama, sehingga kelihatan padang padi yang sangat luas.Dibantai itu Ma'Karuwang mengajarkan mereka membuat radang yang sesuai dengan penuturan ibu Ondo.

Hasilnya cukup memuaskan,karena banyak babi hutan yang binasa kena radang yang diajarkan oleh Ma' Karuwang. Karena itu Ma' Karuwang ditahan mereka supaya tinggal disitu sampai selesai musim panen agar dapat pulang bersama-sama nantinya ke Lasi-Muda. Walaupun telah banyak babi hutan yang terkena radang dari ukuran sedang, namun pemilik ladang masih merasakan gangguan binatang tersebut. Berkatalah seorang penduduk bahwa ladang padinya tadi malam habis rata dengan tanah, diserang seekor babi hutan yang sangat besar badannya.Seluruh telapak tangan saya ini masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan bekas telapak kaki hewan tersebut. 'Saya telah merapatkan telapak tangan saya pada bekas telapak babi hutan itu, ternya sekitar 7 jari saya baru sesuai dengan telapaknya. Nah, kalau begitu babi hutan yang merusakkan ladangmu itu tentunya seekor babi hutan jantan', sahut yang hadir. ' Marilah kita pasang radang dengan ketinggian lembing 7 kepalan tangan, usul semua orang yang hadir. Kalau babi hutan yang besar itu dapat kita binasakan tentu hasil panen saudara-saudara kita yang lain tidak akan sia-sia. Selama 3 hari mereka mempersiapkan radang yang dimaksud dan luar biasa ukurannya, sehingga untuk menarik kayu untuk lentingan tebing perlu dibantu beberapa orang. Selang 5 hari kemudian, sewaktu kabut masih menyelimuti batang-batang padi, datanglah seorang pemilik ladang tergopoh-gopoh melapor kepada ketua bantai.Beramai-ramai mereka menengok radang dan berpencar di sekitar bantai untuk mencari letak bangkai hewan itu. Seorang penduduk kegirangan, sambil berteriak : 'ini dia bangkai babi itu,mari tengok kemari'. Semua orang yang ada berkumpul untuk melihat bangkai babi hutan yang roboh dalam posisi miring. Sementara itu datanglah Ma' Karuwang tergopoh-gopoh ingin melihat bangkai babi hutan yang menjadi tontonan penduduk. Sambil berseru : 'Tolong diperiksa, apakah babi hutan itu betina atau jantan?'. 'Betina!', sahut yang orang-orang yang ada di tempat itu.'Tolong diperiksa tangan babi itu, apakah ada bintik-bintik putih sebanyak 7 buah atau kurang'. Salah seorang memeriksa ketangan babi hutan itu, lalu berkata : 'Ya, betul ada 7 buah bintik-bintik putih ditangannya.

'Baiklah, mari kita potong-potong daging babi hutan ini untuk dibagi-bagikan keseluruh bantai'.'Maaf....jangan....saudara-saudara, babi hutan ini tidak boleh kita makan', kata Ma' Karuwang. 'Tidak boleh kita makan?', sahut yang hadir sambil mata mereka melotot penuh tanya. 'Ya, babi hutan ini tidak boleh kita makan karena...karena..babi hutan ini adalah ibu Ondo, mantan isteri saya', kata Ma' Karuwang sambil menangis. Babi hutan betina inilah yang mengajarkan kepada saya bagaimana caranya membuat radang yang sempurna dan telah saya ajarkan kepada saudara-saudara semua', kata Ma'Karuwang sambil tersedu-sedu. 'Kalau begitu saudara-saudara sekalian kita harus menguburkan tubuh babi hutan ini dengan baik, dan marilah kita menggali tanah yang cukup dalam untuk menguburkan ibu Ondo ini', perintah ketua bantai kepada orang-orang yang hadir.

Begitulah jasad ibu Ondo dikuburkan dengan baik dan mulai saat itu tempat dimana ibu Ondo dikuburkan oleh orang Lasi-Muda dinamakan 'KAOHI-WAWUI' terletak sekitar 150 tombak dari kampung Dayu sekarang.

Setelah 3 bulan Ma' Karuwang berada di bantai berakhirlah panen penduduk. Mereka pulang ke Lasi-Muda untuk membawa hasil panen, dan Ma' Karuwang ikut bersama-sama rombongan itu.

Perhatian penduduk Lasi-Muda tertuju kepada Ma' Karuwang yang mereka anggap sudah meninggal, tetapi ternyata masih hidup dan dapat kembali pulang dengan selamat. Hampir seluruh tubuh Ma' Karuwang basah oleh lemparan telor mentah sebagai tanda kegembiraan orang-orang Lasi-Muda akan kedatangannya.Penduduk Lasi-Muda telah menunggu selama 3 tahun untuk menunggu kedatangan Uria Rin'nyan dan rombongannya.

Semua keluarga yang ikut rombongan Uria Rin'nyan diminta berkumpul. Berturut-turut isteri Uria Rin'nyan, adik Uria Rin'nyan dan ahli waris rombongan. Dengan disaksikan Mantir, Penghulu serta Kepala Adat, berikut orang tua-tua kampung lainnya. Ma' Karuwang membuka boli-boli yang selama ini selalu dibawanya. Ma' Karuwang menunjukkan potongan-potongan ujung kuku, ujung rambut para pengikut Uria Rin'nyan sebagai tanda mereka semua sudah menjadi almarhum dan barang-barang itu menunjukkan arwah mereka. Begitu boli-boli dibuka menangislah para ahli waris. Kemudian musibah ini dikabarkan oleh para ketua kampung lalu mengutus beberapa orang untuk memberitahukan musibah ini kepada Uria Lan'na ke Sangarasi.

MA' KARUWANG TERSESAT KE KAMPUNG ORANG SILUMAN

Keesokan harinya sewaktu fajar menyingsing, burung garuda itu mengepak-ngepakkan sayapnya, sehingga bunyinya kedengaran sampai dikejauhan. Sewaktu matahari mulai terbit terbanglah burung garuda itu meninggalkan suara gemuruh, menuju arah utara. Ma' Karuwang yang berada dalam kain sindai bergantungan pada taji garuda, memperhatikan pemandangan dibawahnya. Setelah terbang beberapa lamanya tibalah diatas suatu tempat dimana hutannya ditumbuhi pohon-pohon perdu, burung garuda itu terbang melingkar-lingkar sambil melihat kearah bawah. Sekawanan babi hutan terlihat oleh Ma' Karuwang sedang berjalan berbaris dan nampak jelas dari atas. Rupanya burung garuda ini sedang mengitari rombongan babi hutan itu, pikir Ma’ Karuwang. Benar juga, burung garuda itu tiba-tiba menukik dengan tajam dan dengan ganasnya menyerang salah seekor korbannya. Tanpa membuang membuang-buang waktu yang sangat berharga itu Ma’ Karuwang berguling sambil terlebih dahulu melepaskan kain sindainya dari taji burung garuda dan berlari-lari kearah ke arah unbelakang burung garuda terus masuk ke rumpun semak-semak untuk menghindarkan diri dari tempat itu. Dalam keadaan haus dan lapar Ma’ Karuwang tetap melanjutkan perjalanan diteruskan hingga sampai disuatu tempat perkampungan penduduk. ‘Apakah aku bermimpi atau bukan’, pikir Ma’ Karuwang dalam hati. Dicoba-cobanya mencubit kulit lengannya masih terasa sakit dan matanya dipejam-pejamkan beberapa kali untuk lebih meyakinkan bahwa ia berada dalam keadaan mimpi atau bukan. Ternyata pemandangan tetap tidak berubah dan ia yakin bahwa ia tidak bermimpi. Pada sebuah rumah yang terdekat dari arah ia datang, Ma’ Karuwang mendehem tiga kali untuk memberitahukan penghuni rumah bahwa ada tamu diluar rumah. Seorang laki-laki tua dalam keadaan tertatih-tatih datang kepintu depan dan menyapa kepadanya. ‘Bapak dari mana, ada keperluan apa dan mau kemana arah dituju’. ‘Saya seorang tersesat datang dari jauh dan belum tahu hendak kemana arah tujuan’, sahut Ma’ Karuwang.



Tak lama kemudian Ma’ Karuwang didatangi oleh beberapa penduduk kampung setempat menanyakan asal-usul Ma’ Karuwang. Berceritalah Ma’ Karuwang kepada mereka mengenai perjalanannya. Lalu salah seorang dari mereka bertanya : ‘Bagaimana nasib rajamu sendiri?’ tanya mereka pula. ‘Uria Rin’nyan mati dibunuh oleh Sultan dan mayatnya dibuang disuatu tempat. ‘Malang betul nasib kawan-kawanmu itu Ma’ Karuwang’, sahut mereka. ‘Untuk sementara tinggallah disini karena rombongan kami akan berjalan ke arah Lasi-Muda mulai tahun depan’. ‘Setiap tahun kami berpindah-pindah tempat untuk mencari makan’. Ma’ Karuwang lalu bertanya : ‘Apa nama kampung tempat saya tersesat ini?’. ‘Kampung ini namanya JAWA-WAWUI*’, sahut mereka serentak.

‘Dalam penglihatan bapak kami ini manusia, tetapi sebenarnya kami adalah babi hutan’. Jadi kampung ini adalah kampung siluman babi hutan’. ‘Dulu kami manusia juga seperti bapak, menurut penuturan nenek moyang kami, mereka adalah prajurit dari negeri jauh tersesat kesini sewaktu armada perang kami terserang oleh badai dan topan yang dahsyat’. ‘Nenek moyang kami adalah prajurit yang ditugaskan untuk memata-matai pihak lawan tanpa dapat diketahui oleh musuh karena prajurit-prajurit itu bisa berubah wujud menjadi binatang’. (tempat kampung orang siluman babi hutan itu terletak didaratan Talio, perjalanan satu hari, disana terdapat pohon kecapi besar, daerah itu sulit ditemukan hanya kadang-kadang saja dapat ditemukan). ‘Rupanya nenek moyang kami salah arah dikira kearah lautan sehingga kapal mereka tersesat ke arah hulu’ . ‘Kapal itu kemudian mereka tinggalkan disuatu tempat sedangkan mereka selanjutnya membentuk sebuah pemukiman disini’. ‘Kami jadi biasa merubah wujud sebagai babi hutan dan mengambil makanan dari daerah lain.

Ma’ Karuwang mengangguk-nganguk kepalanya mendengar penjelasan dari orang-orang kampung itu. Pantas pikirnya saya disuruh makan ubi-ubian dan bukan makan nasi.

’Daripada bapak kesepian, sebaiknya bapak menikah saja disini, sambil menunggu kesempatan pulang ke Lasi-Muda bersama-sama kami nanti’. ‘Terserahlah, kalau ada wanita yang bersedia menjadi istri saya, karena saya adalah seorang duda’, sahut Ma’ Karuwang lagi.

‘Di kampung ini ada seorang wanita sudah janda, dialah ratu kami disini, namanya ibu Ondo’. Hari berikutnya Ma’ Karuwang diperkenalkan dengan ibu Ondo.

Beberapa orang tua menanyakan kepada ibu Ondo dan Ma’ Karuwang, apakah mereka bersedia dinikahkan sebagai suami-istri, lalu dijawab oleh keduanya,bahwa mereka bersedia. Demikianlah Ma’ Karuwang dan ibu Ondo hidup dalam satu rumah sebagai suami-istri. Kehidupan rukun dan damai, maklumlah masing-masing sudah pernah berumahtangga sebelumnya. Pada suatu hari Ma’ Karuwang bertanya kepada ibu Ondo bagaimana caranya membuat radang yang sempurna, tidak banyak meleset dari sasaran, seperti yang biasa mereka lakukan. Kalau bapak ingin tahu rahasianya membuat radang yang sempurna, haruslah memenuhi beberapa persyaratan. ‘Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi, bilamana seseorang ingin membuat radang?’ tanya Ma’ Karuwang lagi. ‘Pertama-tama harus memilih sasaran yang mana dari babi hutan, yang selalu melalui lintasan jalan mereka dengan cara melihat bekas telapak kakinya. Kalau sudah jatuh pilihan kita, taruhlah telapak tangan pada bekas telapak kaki itu sejajar dengan arah jalan mereka. Ukurlah lebar bekas telapak kaki itu dengan jari tangan, misalnya tiga jari. Perhatikan bekas telapak-telapak kaki itu, sebelah kiri dan sebelah kanan. Kalau-kalau ketiak kanan yang dijadikan sasaran, tempatkan kayu landasan lembing dari buluh tamiang disebelah kanan, tepat ditengah-tengah bekas kaki kiri dan kaki kanan, dan semua peralatan radang disebelah kanan pula. Demikian pula kalau memilih sasaran ketiak kiri, semua peralatan dipasang pada sebelah kiri. Pakailah kayu untuk landasan lembing itu dari kayu bekas gesekan tubuh babi hutan. Pilihlah lembing dari buluh tamiang yang berurat-urat merah, dari sebuah rumpun dimana daunnya agak lain dari pohon yang biasanya. Pasanglah lembing buluh tamiang itu, diatas kayu landasan, dengan ketinggian lebar jari kuku babi hutan tiga jari, setinggi tiga kepalan tangan. Untuk kaki pintu radang pasanglah tiga jari kepalan ditambah satu kepalan lagi sehingga seluruhnya menjadi empat kepalan tangan.

Demikian pula pada bulan Kasa atau Karo, lihatlah gugusan bintang-bintang dilangit. Kalau gugusan bintang-bintang waktu tahun itu ada bintang yang berbentuk segitiga dan tidak jauh dari padanya bintang bintik-bintik kecil maka tahun itu adalah tahun yang baik untuk membuat radang, pasti banyak memperoleh hasil.

Ma’ Karuwang termangu-mangu mendengar penuturan isterinya, ibu Ondo. Setelah hampir 3 tahun tinggal bersama ibu Ondo, maka berkatalah ibu Ondo pada suatu hari kepada Ma’ Karuwang : ‘Sekarang sudah memasuki bulan Kaanam, biasanya berlangsung musim buah-buahan di daerah udik. Buah-buahan biasanya berlangsung dari bulan Kaanam, Kapito dan Kawalo, selanjutnya diteruskan dengan buah padi pada bulan Kasanga dan bulan Kasapolo.

{Dalam perhitungan bulan orang Ma’anyan dalam duabelas bulan sesuai dengan putaran matahari yaitu :

Kasa = Agustus; Karo = September; Katiga = Oktober; Kapat = November; Kalima = Desember; Kaanam = Januari; Kapito = Februari; Kawalo = Maret; Kasanga = April; Kasapolo = Mei;Kasawalas = Juni; Kaduawalas = Juli}

‘Apakah bapak tinggal disini atau ikut dengan rombongan kami’, tanya ibu Ondo kepada suaminya Ma’ Karuwang. ‘Saya akan ikut dengan rombongan orang-orang dari sini kata Ma’ Karuwang. Kalau begitu saya beritahukan lagi sebuah rahasia mengenai diri saya. Ditangan ini ada 7 bintik-bintik putih, yang dinamakan orang ‘TOTONG LOWO’ .

‘Totong Lowo ini menggambarkan tinggi kepalan tempat landasan lembing buluh tamiang yang membawa maut bagi saya. Selain daripada itu adalah menggambarkan lebar-lebar kuku jari saya, kalau nanti bapak melihat ada babi hutan kena radang mempunyai bintik-bintik putih 7 buah, harap babi hutan itu jangan dimakan karena itu adalah diri saya’. Baiklah kalau begitu, sahut Ma’ Karuwang. Pada hari yang telah ditetapkan berkumpullah orang-orang seisi kampung menunggu komando berangkat dari ibu Ondo. Kepada Ma’ Karuwang, ibu Ondo berkata bahwa ‘sebaiknya duduk dipundaknya karena rombongan harus melalui danau Sarumalik. Air danau Sarumanik ini yang akan merubah wujud kami menjadi babi hutan’, kata ibu Ondo. Sesudah persiapan selesai, rombongan itu berangkat meninggalkan kampungnya pada bulan Kaanam. Belum ada setengah hari perjalanan, tibalah rombongan itu pada sebuah danau yang airnya berwarna keabu-abuan. Ibu Ondo menasehatkan kepada Ma’ Karuwang supaya jangan mencoba mengulurkan anggota badannya ke dalam air danau Sarumalik khawatir akan berubah menjadi babi hutan seperti mereka. Segala peringatan ibu Ondo diperhatikan betul-betul oleh Ma’ Karuwang karena ia ingin sekali bertemu dengan orang-orang sekampungnya untuk menyampaikan berita duka yang telah dialami olehnya.

Air danau itu ternyata tidak terlalu dalam hanya sebatas pundak manusia. Begitulah dimulai dengan ibu Ondo memasuki air danau Sarumalik, seterusnya diikuti oleh yang lainnya, aneh juga begitu ibu Ondo turun ke air danau berangsur-angsur badannya berubah menjadi babi hutan. Akhirnya semua anggota rombongan yang panjang itu, turun ke dalam air danau dan semuanya berubah secara berangsur-angsur pula. Ma’ Karuwang mencoba mencelupkan kedua kukunya dan ternyata kedua kuku itu berubah menyerupai kuku babi hutan. Dengan begitu ia tidak berani main-main lagi, kedua kakinya dilingkarkan ke leher depan ibu Ondo, yang sesudah naik kedarat diseberang danau, seluruh tubuhnya sempurna menjadi babi hutan. Perjalanan rombongan itu selanjutnya berputar ke arah timur sehingga akhirnya sampai ke tepi sungai Barito.Walaupun ibu Ondo sudah berubah menjadi babi hutan namun Ma’ Karuwang tetap duduk dipundaknya. Sesampainya ditepi sungai Barito, babi-babi itu mulai berteriak-teriak hingar bingar, sehingga menimbulkan kegaduhan yang hiruk pikuk. Didalam air berhadapan dengan tempat babbi-babi itu terlihat beberapa moncong buaya sedang mondar mandir, seperti tidak sabar menunggu saat babi-babi itu menyeberang. Menjelang tiga hari tiga malam mereka mengadakan keributan ditempat itu, sehingga permukaan air sungai Barito penuh dengan moncong-moncong buaya siap menanti mangsanya. Pada hari ketiga, tiba-tiba ibu Ondo sebagai ketua rombongan, masuk lagi kedalam hutan menjauhi tepian sungai, kemudian berlari berputar arah sejajar tepian sungai ke arah hilir.

Babi-babi hutan lainnya mengikuti jejak ibu Ondo, sehingga dalam jarak 100 tumbak dari tempat semulake arah hilir, mulailah ibu Ondo menuruni tepian sungai Barito terus diikuti oleh yang lainnya.

Mereka membuat barisan yang panjang dengan cara dada depan menopang pada punggung babi hutan yang ada didepannya, sehingga ujung mulut mereka sedikit saja tersembul keluar dari dalam air. Pandai juga babi-babi hutan ini mengelabui buaya-buaya yang telah siap melalap mangsanya. Tanpa berhenti perjalanan itu diteruskan kearah timur, hingga akhirnya pada sore hari sampailah mereka pada sebuah kebun buah-buahan yang luas. Pecahlah rombongan babi hutan itu masing-masing mencari makananannya sendir-sendiri. Ma’ Karuwang tetap saja diatas pundak ibu Ondo, karena takut hari mulai gelap. Semalaman Ma’ Karuwang tidak bisa tidur karena ibu Ondo terus-menerus mencari buah-buahan yang jatuh malam itu. Ketika hari sudah muali siang pada keesokkan harinya terdengar bunyi ponai Henon bersiul-siul ria, yang mengingatkan Ma’ Karuwang ketika ia masih di Lasi-Muda, ponai itu bersiul-siul di dahan kayu tepi ladang mereka. ‘Aku sudah dekat dengan kampung Lasi-Muda, pikir Ma’ Karuwang dalam hati.Ibu Ondo membawanya masuk kedalam sebuah kebun buah-buahan yang didalamnya terdapat sebuah pondok tempat orang menunggu buah-buahan dari gangguan monyet, berok, dan lain-lainnya. Dalam hati Ma’ Karuwang tentu disitu ada manusia dan aku akan berpisah dengan ibu Ondo. Berkatalah Ma’ Karuwang kepada ibu Ondo : ‘Sekarang sudah tiba saatnya kita akan berpisah untuk selama-lamanya, karena akau akan bertemu dengan manusia sebangsaku’. ‘Saya berterima kasih yang sangat besar atas pelayananmu selama aku hidup bersamamu selama hampir satu tahun kita berkumpul’. Ma’ Karuwang berkata itu sambil mengusap-usapkan tangannya ke kepala ibu Ondo, sehingga tidak terasa babi hutan itu menunduk dan mengeluarkan air mata seolah-olah ia tidak mau berpisah dengan Ma’ Karuwang. Ibu Ondo sekali lagi menunduk dan dengan sendirinya Ma’ Karuwang terlepas dari pundaknya. Sekali lagi Ma’ Karuwang menepuk-nepuk pundak ibu Ondo, sehingga tidak terasa air mata Ma’ Karuwang turut keluar karena sedih akan perpisahan yang tidak akan bertemu lagi. Walaupun ibu Ondo tidak bisa lagi berbicara dengan bahasa manusia sikanya sudah menunjukkan bahwa ia mengerti akan perasaan Ma’ Karuwang. ‘Sudahlah, selamat berpisah’, kata Ma’ Karuwang lagi. Ibu Ondo hanya menunduk sambil mengais-aiskan kakinya lalu akhirnya,memutarkan tubuhnya lalu lari menjauh masuk hutan yang ada didekat kebun buah-buahan itu.



lanjutan kisah ini : KEMBALINYA MA' KARUWANG KE LASI-MUDA

Minggu, 11 September 2011

KISAH TRAGEDI YANG MENIMPA URIA RIN’NYAN


Kisah ini didasari dari penuturan orang-orang tua  Ja’ar-Sangarasi.

Ditulis dan diketik oleh Sutopo Ukip dan Rinson Balantek.



Pada bulan April 1599, sehabis  musim buah-buahan di daerah Ma’anyan, dua bulan sesudah Uria Rin’nyan membawa upeti ke Banjarmasin datanglah dua orang utusan Sultan Suriansyah ke Lasi-Muda membawa patok bakakak (tulisan/huruf orang Ma’anyan dahulu)  dan berpesan supaya Uria Rin’nyan segera menghadap ke Bandarmaseh dalam waktu 9 hari. Sebelumnya Uria Rin’nyan menanyakan sesuatu kepada kedua utusan Sultan yang membawa patok bakakak itu. Setelah menyampaikan patok bakakak kepada Uria Rinyan, kedua utusan Sultan turun ke perahu dan segera memerintahkan para pendayung mendayung ke arah pulang. Sambil berkali-kali memegang patok bakakak yang diterimanya itu Uria Rin’nyan minta orang-orang di Lasi-Muda berkumpul untuk membicarakan masalah, siapa-siapa saja yang bersedia mengikutinya berlabuh ke Bandarmaseh. Setelah dikumpulkan maka ada 41 orang yang bersedia mengikuti perjalanan ke Bandarmaseh untuk bertemu dengan Sultan. Kepada isteri dan kedua  anaknya dinasehatkan supaya baik-baik menjaga rumah. Demikian pula kepada adiknya Pahulu Sotik dipesankan bilamana ada orang ke Sangarasi harap memberitahukan ke Uria Lan’na atau Uria Renda bahwa Uria Rin’nyan pergi ke Bandarmaseh. Selesai mengadakan pesta  kecil pada malam hari maka keesokan paginya mereka bertolak  dengan membawa 8 buah perahu.

Sebelum mereka tiba disungai Barito, hari sudah menjadi gelap. Uria Rin’nyan memutuskan untuk bermalam dekat muara Sungai Sirau. Keesokan harinya setelah mereka bangun dari tidur semalam suntuk bertanyalah Uria Rin’nyan, siapa saja dari mereka yang mengikuti perjalanan ini mempunyai mimpi dan siapa saja dari mereka yang tidak mempunyai mimpi tadi malam. Hampir serentak semua yang hadir menerangkan bahwa rata-rata mimpi mereka buruk. Masing-masing bermimpi kehilangan gigi, mendengar rusa menangis,  kijang berteriak, mendengar dahan kayu runtuh semenjak keberangkatan dari Lasi-Muda. Dari 41 orang pengikut Uria Rin’nyan; 40 orang bermimpi buruk dan hanya satu orang duda yang tidak memberitahukan mimpinya. Duda tersebut mempunyai tubuh yang kecil pendek, belum pernah ke BandarMaseh, sehingga ia dengan senang hati bergabung dalam rombongan Uria Rin’nyan. Tidak jelas siapa nama aslinya, hanya ia dipanggil bapak Karuwang, dan panggilan namanya secara singkat yaitu Ma’ Karuwang. ‘selamat pagi Ma’ Karuwang, bagaimana mimpimu tadi malam?’ tanya Uria Rin’nyan kepadanya. ‘Ya, tuan saya bermimpi, begitu kaki saya lepas dari darat dan masuk perahu, saya mendengar bunyi burung Sit selalu mengiringi saya hingga tadi malam’. ‘Oh, kalau begitu, engkaulah satu-satunya yang bisa kembali pulang sampai ke rumah nantinya sesudah perjalanan ini’ sahut Uria Rin’nyan. ‘Karena keempat puluh orang termasuk saya sendiri tidak dapat kembali utuh, melainkan hanya pulang nama saja’.

‘Apakah kita akan dibunuh oleh Sultan’, tanya semua yang hadir. ‘Saya tidak tahu pasti, tetapi menurut firasat mimpi kita yang buruk itu, saya berkeyakinan kita semua akan kembali nama, kecuali Ma’ Karuwang  yang kembali dengan utuh’. ‘Ah, barangkali mimpi kita yang aneh-aneh itu hanya sekedar kembang tidur saja’, sahut mereka mengkomentari pendapat Uria Rin’nyan. ‘Kita harap mudah-mudahan tidak lebih dari sekedar kembang tidur saja’, jawab Uria Rin’nyan menghibur.

‘Apakah ada diantara kita pernah berbuat sesuatu kesalahan sehingga Sultan menjadi murka’, tanya seorang pengikut yang lain. ‘Para tetiangku yang baik, tidak ada yang bersalah, mungkin hanya kesalah fahaman saja’. ‘Dua bulan yang lewat sewaktu saya berlabuh ke Bandar Maseh membawa upeti tahunan seperti biasa yang aku lakukan, aku telah dipanggil Puteri Norhayati isteri kedua Sultan’. Dalam pertemuan itu Puteri Norhayati melepas rindunya berbahasa Ma’anyan yang telah lama tidak dipergunakannya’. Demikianlah diceritakan secara singkat oleh Uria Rin’nyan kepada pengikutnya. ‘Kalau itu yang Bapak Uria lakukan mungkin Sultan ada sesuatu perintah selanjutnya yang perlu kita penuhi nantinya’, sahut yang lainnya lagi. ‘Kita harap saja demikian’, sahut Uria Rin’nyan lagi. ‘Oh, ya ..kelihatannya Ma’ Karuwang melilitkan kain Sindai dipinggang, apakah ada sesuatu yang disimpan didalamnya?’

‘Ada’, sahut Ma’ Karuwang sambil membuka lilitan kain Sindai dari pinggangnya. ‘Ini ada sebuah boli-boli, berisi beras kuning dan ini ada dua buah paku besar. ‘Untuk apakah kegunaan barang-barang itu?’ tanya yang lain.’Waktu aku masih kecil diceritakan oleh almarhum ayahku bahwa kalau dalam perjalanan jauh bawalah beras kuning untuk ditebar keatas, sebagai alat pemanggil Hyang penolong kita bila dalam kesulitan’. ‘Saya lupa, seharusnya aku membawa beras kuning juga sesuai perintah ibuku’, sahut Uria Rin’nyan. ‘Dan apa pula kegunaan kedua buah paku besar itu’, tanya yang lain lagi.

‘Atas nasihat almarhum ayahku juga, kalau kita bepergian jauh melalui sungai kita sebaiknya membawa senjata, walaupun kecil sekalipun’. ‘Seandainya perahu kita karam diterjang buaya dan kita bernasib malang ditangkap binatang itu, cepat-cepatlah tikam dengan benda keras kearah kedua biji matanya. Dimata itulah titik lemah seekor buaya, dan kalau kena tikaman sampai keluar darah, buaya yang bersangkutan akan segera melepaskan moncongnya untuk selanjutnya pergi dari tempat itu, dan akhirnya akan mati dengan sendirinya’.

‘Terima kasih banyak Ma’ Karuwang atas penjelasannya’, sahut Uria Rin’nyan. Selanjutnya Uria Rin’nyan berkata : ‘ saudara-saudara sekalian harap memotong ujung kuku jari kaki dan ujung kuku jari tangan masing-masing untuk diserahkan kepada Ma’ Karuwang. ‘Apakah Bapak Uria yakin bahwa rombongan kita ini akan pulang nama?’

‘Kita tidak mengharapkan nasib buruk akan menimpa diri kita tetapi maut adalah rahasia Hyang , kita harus bersedia terlebih dahulu’. Begitulah semua mereka menyerahkan potongan ujung kuku kaki dan tangan, berikut beberapa helai rambut untuk disimpan Ma’ Karuwang didalam boli-bolinya, sebagai rapo atau tanda yang bersangkutan apabila kemungkinan pulang hanya nama sesuai dengan kepercayaan orang Ma’anyan bahwa roh manusia itu berada pada ujung kuku dan rambut orang yang sudah meninggal dunia. Setelah selesai sarapan pagi kedelapan perahu itu meluncur perlahan ke arah hilir menuju ke Bandarmaseh. Selang 5 hari tibalah rombongan itu dipelabuhan Bandarmaseh. Ditepi pelabuhan sudah menunggu beberapa prajurit Sultan bersenjata lengkap.

Uria Rin’nyan dipersilahkan naik ke darat, sedang para pengikutnya disuruh tetap tinggal di perahu mereka masing-masing. Uria Rin’nyan seperti biasa dipersilahkan menempati rumah pesanggrahan khusus  untuk tamu Sultan. Waktu istirahat malam harinya Uria Rin’nyan didatangi oleh utusan Sultan yang membawa  Patok-Bakakak ke Lasi-Muda beberapa hari yang lalu. Dijelaskan oleh utusan itu bahwa Uria Rin’nyan besok pagi diminta Sultan untuk menghadap. Pada keesokan harinya sekitar jam 09.00 pagi Uria Rin’nyan datang menghadap. Dengan senyuman penuh tanda tanya Sultan Suriansyah mengatakan bahwa Uria Rin’nyan jadi Dam’mong atau raja di Patai Suku Hawa belum didodos oleh Sultan, maka hari ini Sultan berniat mengadakan pendodosan Uria Rin’nyan sebagai wakil Sultan di daerah Patai Suku Hawa.

‘Supaya lebih mantap kedudukan saudara sebagai raja mewakili saya, maka perlu didodos’, ujar Sultan. Uria Rin’nyan dipersilahkan menukarkan pakaiannya yang dibawa dari Lasi-Muda dengan kain putih-putih di sebuah kamar yang khusus untuk itu. Selesai berganti pakaian,Sultan mempersilahkan Uria Rin’nyan duduk dikursi, untuk dicukur lebih dahulu rambutnya secara gundul, sebelum dimandikan dengan air kembang 7 rupa sebagai air pendodosan. Belum sampai habis secara bersih kepala Uria Rin’nyan dicukur oleh sultan, secepat kilat Sultan mencabut keris berwarna kuning emas bertahta intan dikedua bidang matanya dan langsung dihujamkan kehulu hati Uria Rin’nyan, sambil berkata : ‘inilah hukumannya bagi orang-orang yang berani memalukan Sultan’. Tanpa dapat membela diri sedikitpun Uria Rin’nyan tewas seketika. Mayatnya dibuang jauh diseberang kali Kuin, yaitu disekitar kali Kerokan sekarang. Lalu apa yang terjadi  dengan para pengikut Uria Rin’nyan. Sultan memerintahkan prajurit-prajuritnya supaya pengikut Uria Rin’nyan tetap tinggal diatas perahu mereka.

Pengikut Uria Rin’nyan tidur satu malam diatas perahu, pada malam berikutnya datang tambahan prajurit Sultan, sehingga jumlahnya sekitar 50 orang. Komandan prajurit itu memerintahkan kepada rombongan pengikut Uria Rin’nyan supaya pindah tempat menambatkan perahu dengan alasan disini merupakan pelabuhan. Karena disini banyak kegiatan perahu lainnya yang memerlukan tempat. ‘akan kami tunjukkan tempat menambatkan perahu yang lebih aman bagi saudara-saudara sekalian’, ujar komandan prajurit Sultan. Kemudian delapan perahu itu digiring ketengah sungai Barito. Setibanya ditengah sungai secara serentak prajurit-pr.ajurit Sultan menggulingkan kedelapan perahu itu. Seluruh pengikut Uria Rin’nyan jatuh ke dalam air dan dibuat tidak berdaya. Mereka dicekik dan ditikam dengan senjata. Nasib baik bagi Ma’ Karuwang ia dapat berpegang pada lantai perahu yang ia tumpangi dalam posisi terbalik. Badannya berada dibawah perut perahu dan kepalanya tersembul sedikit dipermukaan air sekedar dapat menghirup udara untuk bernapas. Berhubung tubuhnya kecil ia tidak terlihat oleh prajurit-prajurit Sultan, saat kejadian itu suasana remang-remang dan bulan dilangit posisi bulan sabit.

Ketika dianggap tidak ada lagi yang masih hidup berkatalah komandan prajurit itu : ‘Tadi siang Sultan telah menamatkan riwayat pemimpin mereka dengan tipu muslihat yang jitu, sekarang aku menipu para pengikutnya dengan pura-pura mencari tempat yang aman untuk menambatkan perahu padahal tempat yang aman diakhirat atau diperut buaya. Sekarang marilah kita pulang dan melaporkan kepada Sultan akan hasil baik pekejaan kita. Semua apa yang diucapkan oleh komandan prajurit itu didengar oleh Ma’ Karuwang. Setelah keadaan dianggap cukup aman perlahan-lahan ia berenang menuju ketepi sungai Barito pada posisi lainnya untuk menghindar dari kemungkinan berjumpa dengan orang-orang dari Bandarmaseh. Dengan tertatih-tatih Ma’ Karuwang berjalan menelusuri tebing sungai Barito yang penuh dengan rawa-rawa ke arah hulu dan akhirnya ia memutuskan untuk tidur dengan bergantungan di kain Sindainya diatas sebuah  pohon yang rendah. Pada pagi harinya perjalanan ia teruskan dan memakan umbut-umbutan pelepas rasa lapar hingga sore harinya ia sampai pada sebuah pohon kayu tangi yang besar. ‘Sebaiknya aku menaiki pohon besar ini untuk keesokkan harinya dapat melihat suasana alam sekitar dalam jarak pandang yang jauh dan bisa menentukan arah perjalanan selanjutnya’, ujar Ma’ Karuwang dalam hatinya. Bermodal dua buah paku besar yang ia bawa dari rumah, ia memanjat pohon besar itu, hingga sampai kedahan yang paling atas.

Teringat olehnya beras kuning yang ia bawa dari rumah, maka beras kuning itu ia tebarkan sambil kakinya menginjak pada dahan kayu tangi. Dalam menebarkan beeras kuning itu ia minta pertolongan Dewa Petir, yaitu Nanyo Abeh dari Lasi-Muda. Tidak berapa lama kemudian ketika matahari mulai tenggelam tiba-tiba langit disebelah utara kelihatan gelap dan selanjutnya seperti digoncangkan gempa yang keras pohon kayu tangi itu bergoyang.

Setelah Ma’ Karuwang menengok keatas terlihat seekor burung garuda besar bertengger dan mulai merapikan tubuhnya untuk bersiap-siap tidur malam. Terlihat juga oleh Ma’ Karuwang besar kaki burung garuda itu sebesar guci wangkang yaitu sejenis guci yang langsing bentuknya, sedangkan jalo atau tajinya sebesar paha manusia. Terpikir oleh Ma’ Karuwang mungkin inilah pertolongan yang diberikan Nanyo Abeh bagi dirinya. Begitu malam sudah larut , dalam keremangan cahaya bulan sabit, mulailah Ma’ Karuwang merayap mendekati kaki burung garuda besar itu, selanjutnya menyangkutkan kain sindainya dikaki tepat dipangkal tajinya.



Bersambung dengan Kisah Ma’ Karuwang ke kampung orang siluman....