Kisah ini didasari dari penuturan orang-orang tua Ja’ar-Sangarasi.
Ditulis dan diketik oleh Sutopo Ukip dan Rinson Balantek.
Pada bulan April 1599,
sehabis musim buah-buahan di daerah
Ma’anyan, dua bulan sesudah Uria Rin’nyan membawa upeti ke Banjarmasin
datanglah dua orang utusan Sultan Suriansyah ke Lasi-Muda membawa patok bakakak
(tulisan/huruf orang Ma’anyan dahulu) dan berpesan supaya Uria Rin’nyan segera
menghadap ke Bandarmaseh dalam waktu 9 hari. Sebelumnya Uria Rin’nyan
menanyakan sesuatu kepada kedua utusan Sultan yang membawa patok bakakak itu. Setelah
menyampaikan patok bakakak kepada Uria Rinyan, kedua utusan Sultan turun ke
perahu dan segera memerintahkan para pendayung mendayung ke arah pulang. Sambil
berkali-kali memegang patok bakakak yang diterimanya itu Uria Rin’nyan minta
orang-orang di Lasi-Muda berkumpul untuk membicarakan masalah, siapa-siapa saja
yang bersedia mengikutinya berlabuh ke Bandarmaseh. Setelah dikumpulkan maka
ada 41 orang yang bersedia mengikuti perjalanan ke Bandarmaseh untuk bertemu
dengan Sultan. Kepada isteri dan kedua
anaknya dinasehatkan supaya baik-baik menjaga rumah. Demikian pula
kepada adiknya Pahulu Sotik dipesankan bilamana ada orang ke Sangarasi harap
memberitahukan ke Uria Lan’na atau Uria Renda bahwa Uria Rin’nyan pergi ke
Bandarmaseh. Selesai mengadakan pesta kecil
pada malam hari maka keesokan paginya mereka bertolak dengan membawa 8 buah perahu.
Sebelum mereka tiba disungai
Barito, hari sudah menjadi gelap. Uria Rin’nyan memutuskan untuk bermalam dekat
muara Sungai Sirau. Keesokan harinya setelah mereka bangun dari tidur semalam
suntuk bertanyalah Uria Rin’nyan, siapa saja dari mereka yang mengikuti
perjalanan ini mempunyai mimpi dan siapa saja dari mereka yang tidak mempunyai
mimpi tadi malam. Hampir serentak semua yang hadir menerangkan bahwa rata-rata
mimpi mereka buruk. Masing-masing bermimpi kehilangan gigi, mendengar rusa
menangis, kijang berteriak, mendengar
dahan kayu runtuh semenjak keberangkatan dari Lasi-Muda. Dari 41 orang pengikut
Uria Rin’nyan; 40 orang bermimpi buruk dan hanya satu orang duda yang tidak
memberitahukan mimpinya. Duda tersebut mempunyai tubuh yang kecil pendek, belum
pernah ke BandarMaseh, sehingga ia dengan senang hati bergabung dalam rombongan
Uria Rin’nyan. Tidak jelas siapa nama aslinya, hanya ia dipanggil bapak
Karuwang, dan panggilan namanya secara singkat yaitu Ma’ Karuwang. ‘selamat
pagi Ma’ Karuwang, bagaimana mimpimu tadi malam?’ tanya Uria Rin’nyan
kepadanya. ‘Ya, tuan saya bermimpi, begitu kaki saya lepas dari darat dan masuk
perahu, saya mendengar bunyi burung Sit selalu mengiringi saya hingga tadi
malam’. ‘Oh, kalau begitu, engkaulah satu-satunya yang bisa kembali pulang
sampai ke rumah nantinya sesudah perjalanan ini’ sahut Uria Rin’nyan. ‘Karena
keempat puluh orang termasuk saya sendiri tidak dapat kembali utuh, melainkan
hanya pulang nama saja’.
‘Apakah kita akan dibunuh oleh
Sultan’, tanya semua yang hadir. ‘Saya tidak tahu pasti, tetapi menurut firasat
mimpi kita yang buruk itu, saya berkeyakinan kita semua akan kembali nama,
kecuali Ma’ Karuwang yang kembali dengan
utuh’. ‘Ah, barangkali mimpi kita yang aneh-aneh itu hanya sekedar kembang
tidur saja’, sahut mereka mengkomentari pendapat Uria Rin’nyan. ‘Kita harap
mudah-mudahan tidak lebih dari sekedar kembang tidur saja’, jawab Uria Rin’nyan
menghibur.
‘Apakah ada diantara kita pernah
berbuat sesuatu kesalahan sehingga Sultan menjadi murka’, tanya seorang
pengikut yang lain. ‘Para tetiangku yang baik, tidak ada yang bersalah, mungkin
hanya kesalah fahaman saja’. ‘Dua bulan yang lewat sewaktu saya berlabuh ke
Bandar Maseh membawa upeti tahunan seperti biasa yang aku lakukan, aku telah dipanggil
Puteri Norhayati isteri kedua Sultan’. Dalam pertemuan itu Puteri Norhayati
melepas rindunya berbahasa Ma’anyan yang telah lama tidak dipergunakannya’.
Demikianlah diceritakan secara singkat oleh Uria Rin’nyan kepada pengikutnya. ‘Kalau
itu yang Bapak Uria lakukan mungkin Sultan ada sesuatu perintah selanjutnya
yang perlu kita penuhi nantinya’, sahut yang lainnya lagi. ‘Kita harap saja
demikian’, sahut Uria Rin’nyan lagi. ‘Oh, ya ..kelihatannya Ma’ Karuwang
melilitkan kain Sindai dipinggang, apakah ada sesuatu yang disimpan didalamnya?’
‘Ada’, sahut Ma’ Karuwang sambil
membuka lilitan kain Sindai dari pinggangnya. ‘Ini ada sebuah boli-boli, berisi
beras kuning dan ini ada dua buah paku besar. ‘Untuk apakah kegunaan
barang-barang itu?’ tanya yang lain.’Waktu aku masih kecil diceritakan oleh
almarhum ayahku bahwa kalau dalam perjalanan jauh bawalah beras kuning untuk ditebar
keatas, sebagai alat pemanggil Hyang penolong kita bila dalam kesulitan’. ‘Saya
lupa, seharusnya aku membawa beras kuning juga sesuai perintah ibuku’, sahut
Uria Rin’nyan. ‘Dan apa pula kegunaan kedua buah paku besar itu’, tanya yang
lain lagi.
‘Atas nasihat almarhum ayahku
juga, kalau kita bepergian jauh melalui sungai kita sebaiknya membawa senjata,
walaupun kecil sekalipun’. ‘Seandainya perahu kita karam diterjang buaya dan
kita bernasib malang ditangkap binatang itu, cepat-cepatlah tikam dengan benda
keras kearah kedua biji matanya. Dimata itulah titik lemah seekor buaya, dan
kalau kena tikaman sampai keluar darah, buaya yang bersangkutan akan segera
melepaskan moncongnya untuk selanjutnya pergi dari tempat itu, dan akhirnya
akan mati dengan sendirinya’.
‘Terima kasih banyak Ma’ Karuwang
atas penjelasannya’, sahut Uria Rin’nyan. Selanjutnya Uria Rin’nyan berkata : ‘
saudara-saudara sekalian harap memotong ujung kuku jari kaki dan ujung kuku
jari tangan masing-masing untuk diserahkan kepada Ma’ Karuwang. ‘Apakah Bapak
Uria yakin bahwa rombongan kita ini akan pulang nama?’
‘Kita tidak mengharapkan nasib
buruk akan menimpa diri kita tetapi maut adalah rahasia Hyang , kita harus
bersedia terlebih dahulu’. Begitulah semua mereka menyerahkan potongan ujung
kuku kaki dan tangan, berikut beberapa helai rambut untuk disimpan Ma’ Karuwang
didalam boli-bolinya, sebagai rapo atau tanda yang bersangkutan apabila
kemungkinan pulang hanya nama sesuai dengan kepercayaan orang Ma’anyan bahwa
roh manusia itu berada pada ujung kuku dan rambut orang yang sudah meninggal
dunia. Setelah selesai sarapan pagi kedelapan perahu itu meluncur perlahan ke
arah hilir menuju ke Bandarmaseh. Selang 5 hari tibalah rombongan itu
dipelabuhan Bandarmaseh. Ditepi pelabuhan sudah menunggu beberapa prajurit
Sultan bersenjata lengkap.
Uria Rin’nyan dipersilahkan naik
ke darat, sedang para pengikutnya disuruh tetap tinggal di perahu mereka
masing-masing. Uria Rin’nyan seperti biasa dipersilahkan menempati rumah
pesanggrahan khusus untuk tamu Sultan.
Waktu istirahat malam harinya Uria Rin’nyan didatangi oleh utusan Sultan yang
membawa Patok-Bakakak ke Lasi-Muda
beberapa hari yang lalu. Dijelaskan oleh utusan itu bahwa Uria Rin’nyan besok
pagi diminta Sultan untuk menghadap. Pada keesokan harinya sekitar jam 09.00
pagi Uria Rin’nyan datang menghadap. Dengan senyuman penuh tanda tanya Sultan
Suriansyah mengatakan bahwa Uria Rin’nyan jadi Dam’mong atau raja di Patai Suku
Hawa belum didodos oleh Sultan, maka hari ini Sultan berniat mengadakan
pendodosan Uria Rin’nyan sebagai wakil Sultan di daerah Patai Suku Hawa.
‘Supaya lebih mantap kedudukan
saudara sebagai raja mewakili saya, maka perlu didodos’, ujar Sultan. Uria Rin’nyan
dipersilahkan menukarkan pakaiannya yang dibawa dari Lasi-Muda dengan kain
putih-putih di sebuah kamar yang khusus untuk itu. Selesai berganti pakaian,Sultan
mempersilahkan Uria Rin’nyan duduk dikursi, untuk dicukur lebih dahulu
rambutnya secara gundul, sebelum dimandikan dengan air kembang 7 rupa sebagai
air pendodosan. Belum sampai habis secara bersih kepala Uria Rin’nyan dicukur
oleh sultan, secepat kilat Sultan mencabut keris berwarna kuning emas bertahta
intan dikedua bidang matanya dan langsung dihujamkan kehulu hati Uria Rin’nyan,
sambil berkata : ‘inilah hukumannya bagi orang-orang yang berani memalukan
Sultan’. Tanpa dapat membela diri sedikitpun Uria Rin’nyan tewas seketika.
Mayatnya dibuang jauh diseberang kali Kuin, yaitu disekitar kali Kerokan
sekarang. Lalu apa yang terjadi dengan
para pengikut Uria Rin’nyan. Sultan memerintahkan prajurit-prajuritnya supaya
pengikut Uria Rin’nyan tetap tinggal diatas perahu mereka.
Pengikut Uria Rin’nyan tidur satu
malam diatas perahu, pada malam berikutnya datang tambahan prajurit Sultan,
sehingga jumlahnya sekitar 50 orang. Komandan prajurit itu memerintahkan kepada
rombongan pengikut Uria Rin’nyan supaya pindah tempat menambatkan perahu dengan
alasan disini merupakan pelabuhan. Karena disini banyak kegiatan perahu lainnya
yang memerlukan tempat. ‘akan kami tunjukkan tempat menambatkan perahu yang
lebih aman bagi saudara-saudara sekalian’, ujar komandan prajurit Sultan. Kemudian
delapan perahu itu digiring ketengah sungai Barito. Setibanya ditengah sungai
secara serentak prajurit-pr.ajurit Sultan menggulingkan kedelapan perahu itu.
Seluruh pengikut Uria Rin’nyan jatuh ke dalam air dan dibuat tidak berdaya.
Mereka dicekik dan ditikam dengan senjata. Nasib baik bagi Ma’ Karuwang ia
dapat berpegang pada lantai perahu yang ia tumpangi dalam posisi terbalik.
Badannya berada dibawah perut perahu dan kepalanya tersembul sedikit
dipermukaan air sekedar dapat menghirup udara untuk bernapas. Berhubung
tubuhnya kecil ia tidak terlihat oleh prajurit-prajurit Sultan, saat kejadian
itu suasana remang-remang dan bulan dilangit posisi bulan sabit.
Ketika dianggap tidak ada lagi yang masih hidup berkatalah komandan
prajurit itu : ‘Tadi siang Sultan telah menamatkan riwayat pemimpin mereka
dengan tipu muslihat yang jitu, sekarang aku menipu para pengikutnya dengan
pura-pura mencari tempat yang aman untuk menambatkan perahu padahal tempat yang
aman diakhirat atau diperut buaya. Sekarang marilah kita pulang dan melaporkan
kepada Sultan akan hasil baik pekejaan kita. Semua apa yang diucapkan oleh
komandan prajurit itu didengar oleh Ma’ Karuwang. Setelah keadaan dianggap
cukup aman perlahan-lahan ia berenang menuju ketepi sungai Barito pada posisi
lainnya untuk menghindar dari kemungkinan berjumpa dengan orang-orang dari
Bandarmaseh. Dengan tertatih-tatih Ma’ Karuwang berjalan menelusuri tebing sungai
Barito yang penuh dengan rawa-rawa ke arah hulu dan akhirnya ia memutuskan
untuk tidur dengan bergantungan di kain Sindainya diatas sebuah pohon yang rendah. Pada pagi harinya
perjalanan ia teruskan dan memakan umbut-umbutan pelepas rasa lapar hingga sore
harinya ia sampai pada sebuah pohon kayu tangi yang besar. ‘Sebaiknya aku
menaiki pohon besar ini untuk keesokkan harinya dapat melihat suasana alam
sekitar dalam jarak pandang yang jauh dan bisa menentukan arah perjalanan
selanjutnya’, ujar Ma’ Karuwang dalam hatinya. Bermodal dua buah paku besar
yang ia bawa dari rumah, ia memanjat pohon besar itu, hingga sampai kedahan
yang paling atas.
Teringat olehnya beras kuning yang ia bawa dari rumah, maka beras
kuning itu ia tebarkan sambil kakinya menginjak pada dahan kayu tangi. Dalam
menebarkan beeras kuning itu ia minta pertolongan Dewa Petir, yaitu Nanyo Abeh
dari Lasi-Muda. Tidak berapa lama kemudian ketika matahari mulai tenggelam
tiba-tiba langit disebelah utara kelihatan gelap dan selanjutnya seperti
digoncangkan gempa yang keras pohon kayu tangi itu bergoyang.
Setelah Ma’ Karuwang menengok keatas terlihat seekor burung garuda
besar bertengger dan mulai merapikan tubuhnya untuk bersiap-siap tidur malam.
Terlihat juga oleh Ma’ Karuwang besar kaki burung garuda itu sebesar guci
wangkang yaitu sejenis guci yang langsing bentuknya, sedangkan jalo atau
tajinya sebesar paha manusia. Terpikir oleh Ma’ Karuwang mungkin inilah
pertolongan yang diberikan Nanyo Abeh bagi dirinya. Begitu malam sudah larut ,
dalam keremangan cahaya bulan sabit, mulailah Ma’ Karuwang merayap mendekati
kaki burung garuda besar itu, selanjutnya menyangkutkan kain sindainya dikaki
tepat dipangkal tajinya.
Bersambung dengan Kisah Ma’ Karuwang ke kampung orang siluman....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar