Keesokan harinya sewaktu fajar menyingsing, burung garuda itu mengepak-ngepakkan sayapnya, sehingga bunyinya kedengaran sampai dikejauhan. Sewaktu matahari mulai terbit terbanglah burung garuda itu meninggalkan suara gemuruh, menuju arah utara. Ma' Karuwang yang berada dalam kain sindai bergantungan pada taji garuda, memperhatikan pemandangan dibawahnya. Setelah terbang beberapa lamanya tibalah diatas suatu tempat dimana hutannya ditumbuhi pohon-pohon perdu, burung garuda itu terbang melingkar-lingkar sambil melihat kearah bawah. Sekawanan babi hutan terlihat oleh Ma' Karuwang sedang berjalan berbaris dan nampak jelas dari atas. Rupanya burung garuda ini sedang mengitari rombongan babi hutan itu, pikir Ma’ Karuwang. Benar juga, burung garuda itu tiba-tiba menukik dengan tajam dan dengan ganasnya menyerang salah seekor korbannya. Tanpa membuang membuang-buang waktu yang sangat berharga itu Ma’ Karuwang berguling sambil terlebih dahulu melepaskan kain sindainya dari taji burung garuda dan berlari-lari kearah ke arah unbelakang burung garuda terus masuk ke rumpun semak-semak untuk menghindarkan diri dari tempat itu. Dalam keadaan haus dan lapar Ma’ Karuwang tetap melanjutkan perjalanan diteruskan hingga sampai disuatu tempat perkampungan penduduk. ‘Apakah aku bermimpi atau bukan’, pikir Ma’ Karuwang dalam hati. Dicoba-cobanya mencubit kulit lengannya masih terasa sakit dan matanya dipejam-pejamkan beberapa kali untuk lebih meyakinkan bahwa ia berada dalam keadaan mimpi atau bukan. Ternyata pemandangan tetap tidak berubah dan ia yakin bahwa ia tidak bermimpi. Pada sebuah rumah yang terdekat dari arah ia datang, Ma’ Karuwang mendehem tiga kali untuk memberitahukan penghuni rumah bahwa ada tamu diluar rumah. Seorang laki-laki tua dalam keadaan tertatih-tatih datang kepintu depan dan menyapa kepadanya. ‘Bapak dari mana, ada keperluan apa dan mau kemana arah dituju’. ‘Saya seorang tersesat datang dari jauh dan belum tahu hendak kemana arah tujuan’, sahut Ma’ Karuwang.
Tak lama kemudian Ma’ Karuwang didatangi oleh beberapa penduduk kampung setempat menanyakan asal-usul Ma’ Karuwang. Berceritalah Ma’ Karuwang kepada mereka mengenai perjalanannya. Lalu salah seorang dari mereka bertanya : ‘Bagaimana nasib rajamu sendiri?’ tanya mereka pula. ‘Uria Rin’nyan mati dibunuh oleh Sultan dan mayatnya dibuang disuatu tempat. ‘Malang betul nasib kawan-kawanmu itu Ma’ Karuwang’, sahut mereka. ‘Untuk sementara tinggallah disini karena rombongan kami akan berjalan ke arah Lasi-Muda mulai tahun depan’. ‘Setiap tahun kami berpindah-pindah tempat untuk mencari makan’. Ma’ Karuwang lalu bertanya : ‘Apa nama kampung tempat saya tersesat ini?’. ‘Kampung ini namanya JAWA-WAWUI*’, sahut mereka serentak.
‘Dalam penglihatan bapak kami ini manusia, tetapi sebenarnya kami adalah babi hutan’. Jadi kampung ini adalah kampung siluman babi hutan’. ‘Dulu kami manusia juga seperti bapak, menurut penuturan nenek moyang kami, mereka adalah prajurit dari negeri jauh tersesat kesini sewaktu armada perang kami terserang oleh badai dan topan yang dahsyat’. ‘Nenek moyang kami adalah prajurit yang ditugaskan untuk memata-matai pihak lawan tanpa dapat diketahui oleh musuh karena prajurit-prajurit itu bisa berubah wujud menjadi binatang’. (tempat kampung orang siluman babi hutan itu terletak didaratan Talio, perjalanan satu hari, disana terdapat pohon kecapi besar, daerah itu sulit ditemukan hanya kadang-kadang saja dapat ditemukan). ‘Rupanya nenek moyang kami salah arah dikira kearah lautan sehingga kapal mereka tersesat ke arah hulu’ . ‘Kapal itu kemudian mereka tinggalkan disuatu tempat sedangkan mereka selanjutnya membentuk sebuah pemukiman disini’. ‘Kami jadi biasa merubah wujud sebagai babi hutan dan mengambil makanan dari daerah lain.
Ma’ Karuwang mengangguk-nganguk kepalanya mendengar penjelasan dari orang-orang kampung itu. Pantas pikirnya saya disuruh makan ubi-ubian dan bukan makan nasi.
’Daripada bapak kesepian, sebaiknya bapak menikah saja disini, sambil menunggu kesempatan pulang ke Lasi-Muda bersama-sama kami nanti’. ‘Terserahlah, kalau ada wanita yang bersedia menjadi istri saya, karena saya adalah seorang duda’, sahut Ma’ Karuwang lagi.
‘Di kampung ini ada seorang wanita sudah janda, dialah ratu kami disini, namanya ibu Ondo’. Hari berikutnya Ma’ Karuwang diperkenalkan dengan ibu Ondo.
Beberapa orang tua menanyakan kepada ibu Ondo dan Ma’ Karuwang, apakah mereka bersedia dinikahkan sebagai suami-istri, lalu dijawab oleh keduanya,bahwa mereka bersedia. Demikianlah Ma’ Karuwang dan ibu Ondo hidup dalam satu rumah sebagai suami-istri. Kehidupan rukun dan damai, maklumlah masing-masing sudah pernah berumahtangga sebelumnya. Pada suatu hari Ma’ Karuwang bertanya kepada ibu Ondo bagaimana caranya membuat radang yang sempurna, tidak banyak meleset dari sasaran, seperti yang biasa mereka lakukan. Kalau bapak ingin tahu rahasianya membuat radang yang sempurna, haruslah memenuhi beberapa persyaratan. ‘Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi, bilamana seseorang ingin membuat radang?’ tanya Ma’ Karuwang lagi. ‘Pertama-tama harus memilih sasaran yang mana dari babi hutan, yang selalu melalui lintasan jalan mereka dengan cara melihat bekas telapak kakinya. Kalau sudah jatuh pilihan kita, taruhlah telapak tangan pada bekas telapak kaki itu sejajar dengan arah jalan mereka. Ukurlah lebar bekas telapak kaki itu dengan jari tangan, misalnya tiga jari. Perhatikan bekas telapak-telapak kaki itu, sebelah kiri dan sebelah kanan. Kalau-kalau ketiak kanan yang dijadikan sasaran, tempatkan kayu landasan lembing dari buluh tamiang disebelah kanan, tepat ditengah-tengah bekas kaki kiri dan kaki kanan, dan semua peralatan radang disebelah kanan pula. Demikian pula kalau memilih sasaran ketiak kiri, semua peralatan dipasang pada sebelah kiri. Pakailah kayu untuk landasan lembing itu dari kayu bekas gesekan tubuh babi hutan. Pilihlah lembing dari buluh tamiang yang berurat-urat merah, dari sebuah rumpun dimana daunnya agak lain dari pohon yang biasanya. Pasanglah lembing buluh tamiang itu, diatas kayu landasan, dengan ketinggian lebar jari kuku babi hutan tiga jari, setinggi tiga kepalan tangan. Untuk kaki pintu radang pasanglah tiga jari kepalan ditambah satu kepalan lagi sehingga seluruhnya menjadi empat kepalan tangan.
Demikian pula pada bulan Kasa atau Karo, lihatlah gugusan bintang-bintang dilangit. Kalau gugusan bintang-bintang waktu tahun itu ada bintang yang berbentuk segitiga dan tidak jauh dari padanya bintang bintik-bintik kecil maka tahun itu adalah tahun yang baik untuk membuat radang, pasti banyak memperoleh hasil.
Ma’ Karuwang termangu-mangu mendengar penuturan isterinya, ibu Ondo. Setelah hampir 3 tahun tinggal bersama ibu Ondo, maka berkatalah ibu Ondo pada suatu hari kepada Ma’ Karuwang : ‘Sekarang sudah memasuki bulan Kaanam, biasanya berlangsung musim buah-buahan di daerah udik. Buah-buahan biasanya berlangsung dari bulan Kaanam, Kapito dan Kawalo, selanjutnya diteruskan dengan buah padi pada bulan Kasanga dan bulan Kasapolo.
{Dalam perhitungan bulan orang Ma’anyan dalam duabelas bulan sesuai dengan putaran matahari yaitu :
Kasa = Agustus; Karo = September; Katiga = Oktober; Kapat = November; Kalima = Desember; Kaanam = Januari; Kapito = Februari; Kawalo = Maret; Kasanga = April; Kasapolo = Mei;Kasawalas = Juni; Kaduawalas = Juli}
‘Apakah bapak tinggal disini atau ikut dengan rombongan kami’, tanya ibu Ondo kepada suaminya Ma’ Karuwang. ‘Saya akan ikut dengan rombongan orang-orang dari sini kata Ma’ Karuwang. Kalau begitu saya beritahukan lagi sebuah rahasia mengenai diri saya. Ditangan ini ada 7 bintik-bintik putih, yang dinamakan orang ‘TOTONG LOWO’ .
‘Totong Lowo ini menggambarkan tinggi kepalan tempat landasan lembing buluh tamiang yang membawa maut bagi saya. Selain daripada itu adalah menggambarkan lebar-lebar kuku jari saya, kalau nanti bapak melihat ada babi hutan kena radang mempunyai bintik-bintik putih 7 buah, harap babi hutan itu jangan dimakan karena itu adalah diri saya’. Baiklah kalau begitu, sahut Ma’ Karuwang. Pada hari yang telah ditetapkan berkumpullah orang-orang seisi kampung menunggu komando berangkat dari ibu Ondo. Kepada Ma’ Karuwang, ibu Ondo berkata bahwa ‘sebaiknya duduk dipundaknya karena rombongan harus melalui danau Sarumalik. Air danau Sarumanik ini yang akan merubah wujud kami menjadi babi hutan’, kata ibu Ondo. Sesudah persiapan selesai, rombongan itu berangkat meninggalkan kampungnya pada bulan Kaanam. Belum ada setengah hari perjalanan, tibalah rombongan itu pada sebuah danau yang airnya berwarna keabu-abuan. Ibu Ondo menasehatkan kepada Ma’ Karuwang supaya jangan mencoba mengulurkan anggota badannya ke dalam air danau Sarumalik khawatir akan berubah menjadi babi hutan seperti mereka. Segala peringatan ibu Ondo diperhatikan betul-betul oleh Ma’ Karuwang karena ia ingin sekali bertemu dengan orang-orang sekampungnya untuk menyampaikan berita duka yang telah dialami olehnya.
Air danau itu ternyata tidak terlalu dalam hanya sebatas pundak manusia. Begitulah dimulai dengan ibu Ondo memasuki air danau Sarumalik, seterusnya diikuti oleh yang lainnya, aneh juga begitu ibu Ondo turun ke air danau berangsur-angsur badannya berubah menjadi babi hutan. Akhirnya semua anggota rombongan yang panjang itu, turun ke dalam air danau dan semuanya berubah secara berangsur-angsur pula. Ma’ Karuwang mencoba mencelupkan kedua kukunya dan ternyata kedua kuku itu berubah menyerupai kuku babi hutan. Dengan begitu ia tidak berani main-main lagi, kedua kakinya dilingkarkan ke leher depan ibu Ondo, yang sesudah naik kedarat diseberang danau, seluruh tubuhnya sempurna menjadi babi hutan. Perjalanan rombongan itu selanjutnya berputar ke arah timur sehingga akhirnya sampai ke tepi sungai Barito.Walaupun ibu Ondo sudah berubah menjadi babi hutan namun Ma’ Karuwang tetap duduk dipundaknya. Sesampainya ditepi sungai Barito, babi-babi itu mulai berteriak-teriak hingar bingar, sehingga menimbulkan kegaduhan yang hiruk pikuk. Didalam air berhadapan dengan tempat babbi-babi itu terlihat beberapa moncong buaya sedang mondar mandir, seperti tidak sabar menunggu saat babi-babi itu menyeberang. Menjelang tiga hari tiga malam mereka mengadakan keributan ditempat itu, sehingga permukaan air sungai Barito penuh dengan moncong-moncong buaya siap menanti mangsanya. Pada hari ketiga, tiba-tiba ibu Ondo sebagai ketua rombongan, masuk lagi kedalam hutan menjauhi tepian sungai, kemudian berlari berputar arah sejajar tepian sungai ke arah hilir.
Babi-babi hutan lainnya mengikuti jejak ibu Ondo, sehingga dalam jarak 100 tumbak dari tempat semulake arah hilir, mulailah ibu Ondo menuruni tepian sungai Barito terus diikuti oleh yang lainnya.
Mereka membuat barisan yang panjang dengan cara dada depan menopang pada punggung babi hutan yang ada didepannya, sehingga ujung mulut mereka sedikit saja tersembul keluar dari dalam air. Pandai juga babi-babi hutan ini mengelabui buaya-buaya yang telah siap melalap mangsanya. Tanpa berhenti perjalanan itu diteruskan kearah timur, hingga akhirnya pada sore hari sampailah mereka pada sebuah kebun buah-buahan yang luas. Pecahlah rombongan babi hutan itu masing-masing mencari makananannya sendir-sendiri. Ma’ Karuwang tetap saja diatas pundak ibu Ondo, karena takut hari mulai gelap. Semalaman Ma’ Karuwang tidak bisa tidur karena ibu Ondo terus-menerus mencari buah-buahan yang jatuh malam itu. Ketika hari sudah muali siang pada keesokkan harinya terdengar bunyi ponai Henon bersiul-siul ria, yang mengingatkan Ma’ Karuwang ketika ia masih di Lasi-Muda, ponai itu bersiul-siul di dahan kayu tepi ladang mereka. ‘Aku sudah dekat dengan kampung Lasi-Muda, pikir Ma’ Karuwang dalam hati.Ibu Ondo membawanya masuk kedalam sebuah kebun buah-buahan yang didalamnya terdapat sebuah pondok tempat orang menunggu buah-buahan dari gangguan monyet, berok, dan lain-lainnya. Dalam hati Ma’ Karuwang tentu disitu ada manusia dan aku akan berpisah dengan ibu Ondo. Berkatalah Ma’ Karuwang kepada ibu Ondo : ‘Sekarang sudah tiba saatnya kita akan berpisah untuk selama-lamanya, karena akau akan bertemu dengan manusia sebangsaku’. ‘Saya berterima kasih yang sangat besar atas pelayananmu selama aku hidup bersamamu selama hampir satu tahun kita berkumpul’. Ma’ Karuwang berkata itu sambil mengusap-usapkan tangannya ke kepala ibu Ondo, sehingga tidak terasa babi hutan itu menunduk dan mengeluarkan air mata seolah-olah ia tidak mau berpisah dengan Ma’ Karuwang. Ibu Ondo sekali lagi menunduk dan dengan sendirinya Ma’ Karuwang terlepas dari pundaknya. Sekali lagi Ma’ Karuwang menepuk-nepuk pundak ibu Ondo, sehingga tidak terasa air mata Ma’ Karuwang turut keluar karena sedih akan perpisahan yang tidak akan bertemu lagi. Walaupun ibu Ondo tidak bisa lagi berbicara dengan bahasa manusia sikanya sudah menunjukkan bahwa ia mengerti akan perasaan Ma’ Karuwang. ‘Sudahlah, selamat berpisah’, kata Ma’ Karuwang lagi. Ibu Ondo hanya menunduk sambil mengais-aiskan kakinya lalu akhirnya,memutarkan tubuhnya lalu lari menjauh masuk hutan yang ada didekat kebun buah-buahan itu.
lanjutan kisah ini : KEMBALINYA MA' KARUWANG KE LASI-MUDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar