dipublikasikan oleh Nugra Ze melalui KALTIM POST-JUNI 2007
Siapa putra daerah? Apakah penduduk (suku) asli yang telah menetap turun temurun. Ataukah (suku) pendatang yang lahir dan besar di Kalimantan Timur (Kaltim), dan memiliki KTP Kaltim juga berhak menyandang gelar sebagai Putra Daerah? pertanyaan ini layak dikemukakan mengingat penyandang gelar putra daerah sangat mempengaruhi akses terhadap kepentingan, kebijakan, politik, kekayaan dan interaksi dalam wilayah ini.
Kaltim yang belakangan ini dikenal sebagai pulau dengan kekayaan alam melimpah ruah, dihuni oleh berbagai suku asli seperti Dayak, Kutai, Tidung, Berau, Banjar dan lain-lain. Dalam perjalanan sejarahnya kemudian terjadi interaksi regional dan global dengan berbagia suku bangsa di nusantara ini. Kerajaan Kutai misalnya, pernah disambangi berbagai kerajaan dari Jawa, Sumatra, dan Bugis. Bahkan Kekaisaran China pun pernah mengirim utusan ke Kerajaan Kutai Kartanegara (Kukar) di abad pertengahan.
Pada paruh akhir millenium kedua, terjadi migrasi secara masif dari Kerajaan Bugis (Wajo) yang meminta suaka politik pada Kerajaan Kutai yang kemudian diberikan tempat menetap di tepian sungai Mahakam. Tempat yang disebut-sebut sebagai 'sama rendah' (karena topografi yang landai/rendah) itu kemudian dikenal sebagai Samarinda.
Interaksi yang terbangun selama berabad-abad lamanya kemudian melahirkan akulturasi dan asimilasi (peleburan dan penyesuaian) antara suku (bangsa) asli dan suku pendatang yang memiliki kultur dan adat relatif berbeda, khususnya pada daerah pesisir. Terjadilah perkawinan silang antar suku dan melahirkan evolusi/inovasi kultur/kultur baru pada perkembangan selanjutnya. Belakangan kita kemudian menyaksikan sebuah fenomena unik, dimana terjadi dominasi dalam hampir segala aspek kehidupan dari pendatang terhadap penduduk (suku) asli Kaltim. Hal ini tentu akan melahirkan implikasi kecemburuan sosial dalamtahap-tahap interaksi masyarakat ke depannya.
Siapa tuan rumah, siapa tamu?
Kita analogikan melalui eksistensi sebuah rumah. Ada pihak yang disebut sebagai tuan rumah dan ada yang disebut sebagai tamu. Dalam adab ramah tamah kita mengenal sikap bahwa, tuan rumah harus memuliakan tamu, pada saat yang sama, tamu harus tahu diri. Akhlak ini akan melahirkan kondisi yang kondusif dan toleransi indah dalam komunikasi sosial sehari-harinya.
Tragedi Sampit yang memilukan beberapa tahun lalu, mengingatkan kita pada pepatah, dimana kaki dipijak, disitu langit dijunjung. Inilah idealisme. Pada realitasnya kitamenemukan kondisi yang memprihatinkan. Sumber daya manusia penduduk asli Kaltim yang lemah dan dibawah rata-rata kemudian menjadi pintu masuknya pendatang dari (umumnya Jawa dan Sulsel yang memiliki kompetensi SDM yang lebih baik. Sebuah pemandangan umum, karyawan, pegawai yang bekerja baik di pemerintahan maupun perusahaan swasta diwarnai masyarakat (suku) pendatang. Sementara penduduk setempat justru termarjinalkan dan kurang mendapat tempat.
Padahal kalau kita terawang di Jawa maupun di Sulsel, sangat sulit menemukan adanya dominasi pendatang di daerah tersebut. Definisi putra daerah di Sulsel, adalah orang Bugis, Makassar, Luwu, Toraja dan lain-lain. Begitu pun di Jawa, Sunda, Betawi, Madura.
Akses jabatan dan politik di pemerintahan, maupun di wilayah bisnis tentu dipegang warga setempat. Sangat terbalik dengan apa yang terjadi di Kaltim. Akses-akses strategis tersebut justru dipegang oleh pendatang. Dari jabatan Gubenur, Bupati, Ketua DPRD, Kabag-kabag dan seterusnya. Kebutuhan warga pendatang terhadap akses kekayaan alam di Kaltim tentu menginginkan gelar sebagai Putra Daerah Kaltim. Bahkan belakangan seperti diberitakan di media Kaltim, muncul seorang figur pendatang (Bugis) yang mengklaim dirinya sebagai ketua adat masyarakat lokal. Yang menjadi persoalan, penduduk asli justru dapat dihitung dengan jari dalam posisi strategis yang notabene di rumahnya sendiri. Tamu telah menyantroni tuan rumah?
Kekhawatiran kita adalah terjadi akumulasi konflik dan benturan dominasi yang berujung pada kerusuhan massa seperti tragedi Sambas dan Sampit. Kita semua tidak menginginkan hal ini. Kondisi sosial masyarakat telah telanjur memasuki tahap 'lampu kuning', perlu untuk di tata ulang sehingga seorang 'tuan rumah' mendapat haknya selayaknya pemilik rumah.
Maka diperlukan program dan kebijakan yang mendukung revitalisasi dan peningkatan sumber daya manusia warga asli Kaltim. Sudah sepatutnya tuan rumah mengelola rumahnya sendiri, jika ia belumpandai, maka tugas pemerintah untuk memberikan pendidikan ketrampilan dan keahlian padanya. Bagaimana melakukan penataan kota, stabilitas dan peningkatan ekonomi, membangun infrastruktur dan lain-lain. Psikologi masyarakat asli tentu ingin rumahnya tetap aman dan nyaman untuk dihuni.
Kerusakan alam baik perambahan hutan maupun eksploitasi sumber daya alam telah melahirkan bencana-bencana yang berakibat buruk bagi warga setempat. Siapakah yang melahirkan kebijakan yang melonggarkan eksploitasi besar-besaran tersebut? Jika alam Kaltim telah rusak, kemanakah masyarakat ini akan bermigrasi? Para tamu bisa pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara tuan rumah telah kehilangan tempat tinggalnya. Semoga menjadi perenungan kita bersama.
Nugra Sius S
1 komentar:
betul sekali artikel saudara, orang dayak, orang banjar orang kutai dsbnya yang merupakan suku asli kalimantan terbuai dengan slogan bangsa indonesia yang mengedepankan pluralisme. padahal plural yang sesungguhnya hanya berjalan di kalimantan. tidak ada pluralisme di sulawesi di jawa dan di sumatra. pluralisme itu kemudian mengaburkan makna putra daerah yang sesungguhnya. karena setiap orang beranggapan bahwa selama ini negara indonesia, "saya memiliki hak sama dengan siapapun, termasuk dengan suku asli setempat". cobalah orang dari luar sulawesi selatan mencoba mendominasi di sulawesi selatan pasti tidak akan bertahan lama, orang tersebut akan dibunuh oleh orang bugis, orang makasar atau orang toraja. percayalah!. jadi ada baiknya orang asli kalimantan memikirkan kembali untuk menerima pendatang di kalimantan kalau perlu yang ada saat ini di musnahkan.
Posting Komentar