Ada beberapa jenis upacara adat yang dilaksanakan oleh orang Maanyan yang berkaitan dengan sukacita atau yang lazim dinamakan adalah hukum adat tiba welom. Jenis upacara adat tersebut adalah sebagai berikut :
- Nyakit Puhet, suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Maanyan, yang berhubungan dengan kelahiran anak . Menurut kepercayaan masyarakat didaerah ini apabila seseorang baru melahirkan, maka perlu diadakan selamatan atas kelahiran anak tersebut. Sesudah tali pusarnya putus, maka diadakan selamatan dengan mengorbankan seekor ayam. Darah ayam tersebut ditampung kedalam sebuah mangkok, kemudian dipercikan kepada bayi itu dengan sejenis uang logam yang biasanya oleh orang yang terlebih tua, atau orang tua bayi itu ataupun orang lain sebagai tetangga yang terdekat. Dalam kepercayaan masyarakat Maanyan apabila ada orang baru melahirkan belum diadakan Nyaki Puhet, maka banyak tetangga yang tidak mau berkunjung ke rumah orang yang baru melahirkan itu disebabkan hal itu adanya larangan tabu atau Sawuh Sam'ar. Sawuh Sam'ar tersebut bersifat sementara sebelum tali pusarnya putus.
- Itarukasay adalah upacara adat yang berkaitan dengan pemberian nama kepada anak bayi yang kira-kira berumur 6 (enam) bulan. Upacara ini juga merupakan penolak bala yang bisa mengganggu anak tersebut. Dalam acara ini dilengkapi dengan sesajen yang terdiri dari sebuah kelapa, gula merah dan juga dilengkapi dengan berbagai jenis kue. Demikian juga sebagai kelengkapan dikumpulkan berbagai jenis daun yang masih hidup, yang diletakkan disebuah nampan. Acara ini juga dilengkapi dengan pengorbanan seekor ayam serta darahnya ditampung didalam sebuah bali-bali (sasiri). Setelah semua sesajen yang berkenaan dengan acara Itarukasay sudah lengkap maka seseorang yang telah ditentukan bercerita tentang kehidupan serta penghidupan anak tersebut dengan suka dan duka yang mesti ia hadapi. Semua duka maupun sukanya tersebut tidak perlu ditakuti sebab segala sesuatu akan dapat diatasi. Sebab anak itu telah diserahkan kepada Hiyang Piumbung Jaya Pikuluwi atau Tuhan Yang Maha Esa yang membimbing anak itu kepada hal-hal yang berguna bagi kedua orang tuanya dan masyarakat. Demikian juga hormat kepada semua orang serta mencintai Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi yang membimbing anak itu sepanjang hayatnya.
- Isirap atau lebih dikenal dengan sebutan Isirap Mihampe, acara ini menggunakan Wadian Dusun. Sedangkan sesajen yang diperlukan didalam melakukan acara ini adalah terdiri dari 2 (dua) piring beras, 2 (dua) batang lemang atau yang disebut dengan Pasike, daging babi, ayam dan ketupat dan lain sebagainya. Semua sesajen tersebut diberikan kepada Hiyang Pimbung Jaka Pikuluwi, yang disertai dengan ucapan Diki Hiyang, yang diucapkan oleh wadian dusun. Semua yang tersedia dihadapan wadian itu merupakan persembahan sebagai ucapan terima kasih, atas penyertaan Yang Maha Kuasa sepanjang tahun terhadap kehidupan mereka. Dalam melakukan kegiatan ini biasanya dilakukan sekali dalam setiap tahun, setelah panen selesai, sebagai ucapan terima kasih yang ditujukan kepada Roh Leluhur yang telah merestui segala usaha yang mereka lakukan selama ini. Pada acara Isirap tidak ada gamelan sebagai penyerta didalam melakukan kegiatan itu. Acara ini biasanya untuk melepaskan nazar apabila berhasil dalam suatu kegiatan dan lain ebaginya. Akan tetapi didalam melakukan acara Isirap, biasanyadilakukan juga acara memerikan sesajen kepada Roh Leluhur yang bermukim dipohon kayu yang disebut Panungkulan.
- Miempu adalah suatu acara adat yang mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai acara yang bersifat suka cita dan yang kedua sebagai sarana pengobatan orang sakit. Sebagai acara suka cita biasa, Miempu biasa menggunakan Wadian Bawo, Dadas dan Amunrahu. Akan tetapi bisa juga menggunakan wadian tersebut secara bersama-sama disatu tempat, misalnya Wadian Bawo bersama dengan Wadian Dadas yang disebut Raung Wundrung. Pelaksanaan wadian ruang wundrung ada perbedaan didalam melakukan Diki Hiyang serta sesajen, dengan wadian biasa, hanya memakai acara yang sama. Tujuan gabungan kedua wadian tersebut, sama-sama mengucapkan terima kasih kepada Hiyang Piumbung Jaya Pikuluwi. Dalam acara Miempu biasa juga dilakukan acara memandikan seseorang bayi serta disebut Mubur Walenon, artinya memandikan seorang anak bayi serta menyebut namanya yang diberitahukan kepada Wayu atau Diwata Ranu atau penguasa air agar anak itu selanjutnya perlu dijaga olehnya. Dalam Upacara Mubur Walenon merupakan ucapan terima kasih dari orang tuanya dengan menyelam didalam air sambil makan telur serta menanamkan tumbuhan seperti Kambat, yang disebut oleh oarang Maanyan dengan istilah Nyelem Taranang. Dalam acara ini biasanya memotong binatang babi serta ayam dan perlengkapannya yang lain mesti disediakan antara lain : katupat, pasike atau lemang dari beras dan beras yang diletakkan didalam sebuah tikar kecil berbentuk cembung yang disebut Nanah, tempat meletakkan gantungan yang terbuat dari daun kelapa muda atau daun enau yang disebut dengan Ibus yakni pada daun tersebut diikat beberapa lembar kain panjang perempuan atau Bahalai dan sebagainya. Apabila acara Miempu yang bersifat pengobatan orang yang sakit setelah dilakukan dengan cara melihat apa jenis penyakitnya dengan sebutan Mi'ini yakni mendeteksi penyakit secara paranormal yang diteruskan dengan pengobatan pertama yang disebut Iwuras. Iwuras tersebut dengan menggunakan beras dan kencur yang dikunyah lalu dikumur dalam mulut dengan disertai mantera-mantera yang kemudian disemburkan kepada orang sakit. Apabila usaha tersebut tadi tidak berhasil maka baru diadakan acara Miempu. Biasanya Miempu orang sakit dengan menggunakan wadian bawo yang disebut Nyangar Maling selama dua malam. Perlengkapan Miempu pada malam pertama sesajen yang disediakan sama dengan pada waktu miempu yang sifatnya suka cita, beras yang ditaruh di Nanah, guci yang ditutup dengan piring yang berjumlah 4 (empat) buah, tombak yang diletakan dipuput wundrung atau sokoguru rumah dan sebagainya. Malam pertama dari acara Miempu orang sakit disebut malam mencari pengobatan. Sedangkan malam kedua disebut malam pengobatan. Akan tetapi sesajen yang harus disediakan pada malam kedua, ada beberapa macam kue yakni yang berjumlah 41 (empat puluh satu) macam. Wadian masuk kedalam tanah yang dibuat semcam liang kubur akan tetapi tidak begitu dalam disebut dengan Saruga. Apabila wadian masuk ke saruga, gamelan terus dimainkan tidak diperkenankan berhenti selama wadian mengadakan pengobatan yang disebut Miusat, gamelan terus dimainkan sampai wadian selesai mengadakan miusat maupun keluar dari saruga. Sudah menjadi kebiasaan pada upacara tersebut. Sebab banyak benda-benda yang dibawa oleh wadian kedalam rumah pada waktu miusat (Kasarungan atau kesurupan). Apabila waktu Miusat tadi, wadian sering membawa benda-benda yang sifatnya sudah mati, seperti daun yang sudah kering dan sebagainya berarti orang sakit tersebut bisa meninggal dunia. Apabila wadian pada waktu itanang banyak membawa benda-benda hidup, misalnya daun yang masih hidup, atau apa saja yang sifatnya masih hidup, maka orang tersebut akan sembuh dari penyakitnya. Setelah selesai acara miempu biasanya selama 3 (tiga) hari dirumah orang yang melakukan acara Miempu tersebut tidak diperkenankan menerima tamu kecuali keluarga yang ikut dalam melakukan upacara saja. Larangan masuk, tidak menerima tamu setelah kegiatan Miempu selesai disebut Tampadi Pisan. Dalam kondisi tertentu dari penyakit yang diderita pasien tersebut mungkin tidak perlu acara Miempu cukup dengan Iraharen. Iraharen ada dua macam yaitu Iraharen Manta dan Iraharen Mandru namun ada juga dengan cara Manyapir. Semua acara ini memakai sesajen juga, tetapi tidak perlu diadakan Tatabuhan, dan pelaksanaannya cukup oleh kepala rumah tangga atau famili terdekat saja.
- Bontang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bontang Tamui Bukah-Lale. beberapa hari sebelum dimulai acara Bontang didirikan sebuah bangunan yang disebut Balai. Balai ini berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan yang sifatnya seremonial saja. Lamanya melakukan acara Bontang ialah 3 (tiga) hari. Hari yang pertama disebut Andrau Papaspali. Pada hari yang pertama ini, kegiatan difokuskan untuk mengelilingi semua makam keluarga dari pihak yang melakukan acara Bontang dengan membawa benda pusaka yang khusus (Ullu). Setelah mengelilingi semua makam tersebut maka Ullu tersebut diarak mengelilingi pohon yang mempunyai getah yang disebut Nuruk Nanyu (mengikat Halilintar) yang dilakukan oleh orang atau seorang penghulu yang sekaligus tempat asal benda tersebut diambil. Beberapa puluh meter dari Balai tempat meletakkan Ullu tersebut selama pesta adat itu berlangsung, sudah terdengar bunyi kenong, gendang dan gong yang bertalu-talu menyambut kedatangan orang yang membawa benda tersebut. Sebelum sampai dihalaman Balai rombongan yang membawa benda pusaka (Ullu) tersebut, disambut dengan sorak-sorai oleh anggota masyarakat serta keluarga dekat dengan disertai lemparan tombak yang disertai dengan Tarian Nampak (giring-giring) dan Tari Bahalai yang disebut Nandrik. Pada malam harinya kegiatan banyak dilakukan dihalaman rumah yang bersifat kegembiraan karena banyak orang melakukan Tarian Nampak dan berbagai jenis kegiatan yang lainnya. Didalam Balai terdapat tempat meletakkan Ullu yang diikat pada tiang bali atau sokoguru rumah beserta dengan guci, tombak dan ada juga seperti bendera yang disebut Lalayur Lalunsir. Pada hari yang kedua dari acara Bontang disebut hari Iparapah, acara ini tidak lebih dari pemberian korban yang ditujukan kepada Hiyang Piumbung Jaya Pikuluwi atas berkat yang diberikan kepada yang melakukan upacara ini. Pada acara Iparapah biasanya mengorbankan binatang sperti babi, ayam, itik dan kambing, sedangkan keluarga yang melakukan upacara ini berada dibawah tempat pemotongan binatang tersebut. Kalau sepintas kita lihat mereka tersebut mandi darah binatang yang dikorbankan. Kegunaan dari Iparapah ini adalah melunasi Nazar mereka kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi (Tuhan Yang Maha Esa). Pada sore harinya ada lagi acara yang mengantarkan sesajen kepada Pangingtulu (dewa-dewa) yang memelihara serta melindungi mereka, pada Panungkulan yang biasanya dipohon kayu yang dianggap keramat. Pada hari yang ketiga dari acara Bontang tersebut, dinamai Andrau Baraden, lalu mengadakan dua acara yang penting yakni Baraden dan Ngugah Tuak Datu. Acara Baraden dilakukan untuk menyucikan diri dari roh-roh yang membawa malapetaka kepada pihak yang melakukan upacara ini. Pada acara ini semua keluarga duduk mengelilingi tiang balai dan seorang yang melakukan acara ini biasanya membawa dupa (semacam dapur) tempat membakar kemenyan dan kayu gaharu. Asap dari kemenyan serta gaharu yang dibakar itu dikipaskan keseluruh ruang balai dengan disertai tarian bahalai (nandrik) dan giring-giring dengan irama kenong dan gendang yang lain dari yang lainnya. Acara membuka Tuak Datu biasanya dilakukan oleh Mantir. Setelah acara membuka Tuak Dato selesai dilanjutkan dengan acara kegembiraan bahwa acara bontang dapat dilaksanakan dengan lebih baik tanpa adanya rintangan dari roh jahat. Acara bontang menggunakan wadian dusun sebagai pelaksanaan dari acara ini serta dibantu oleh beberapa orang Panganak Hiyang yang khusus membantu dalam pembuatan sesajen yang berhubungan dengan acara ini. Dalam acara bontang ada yang mengorbankan binatang kerbau, akan tetapi waktu penyelenggaraan memakan waktu 7 (tujuh) hari lamanya. Bontang yang mengorbankan kerbau tidak ada bedanya dengan bontang yang lamanya tiga malam, semua persyaratan didalam upacara tersebut tidak berbeda jauh, hanya yang membedakannya adalah lama waktu dari penyelenggaraan upacara Miya. Dalam pelaksanaan bontang ada yang disebut Wurung Balai, yang bertugas hanya sebagai penari selama berlangsungnya upacara bontang.
- Nguruwayu atau Kuruwayu adalah suatu upacara adat yang ada kaitannya dengan acara suka cita yang paling tinggi nilainya dalam susunannya tata cara adat dalam bidang suka cita yang dimiliki oleh anggota masyarakat Maanyan. Mengapa dikatakan paling tinggi nilainya, sebab tidak sembarang dapat dilakukan apabila belum melakukan acara bontang terlebih dahulu. Upcara Nguruwayu dilakukan oleh wadian bawo, sedangkan bontang dilakukan oleh wadian dusun. Penyebutan kata Nguruwayu banyak dipakai oleh anggota masyarakat yang berada didaerah Kampung Sepuluh serta Banua Lima dan sekitarnya. Sedangkan kata penyebutan Kuruwayu dipakai dan digunakan oleh masyarakat di daerah Paku'u Karau dan sekitarnya. Acara Nguruwayu memerlukan waktu beberapa hari lamanya untuk menyelesaikan acara ini. Sesajen dalam acara ini tidak jauh berbeda dengan sesajen pada waktu melakukan kegiatan acara Miempu yang lamanya 2 (dua) malam. Jumlah wadian yang terlibat dalam melakukan acara ini sampai berjumlah 8 orang atau lebih. Didalam melakukan acara ini tidak mempunyai balai seperti acara bontang, dan semua kegiatan dilakukan didalam rumah. Pada waktu melakukan acara ini binatan g yang dikorbankan adalah ayam, babi seperti di acara bontang. Pada acara nguruwayu biasanya ayam yang paling banyak menjadi korban baik itu dipotong maupun dioles dengan minyak sebagai ucapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Dalam acara Nguruwayu tidak ada tarian Nampak dan Nandrik seperti bontang, hanya yang melakukan tarian adalah wadian yang melakukan acara itu yang disebut Ikinsai. Dalam acara Ikinsai adalah suatu acara yang diperlihatkan semua wadian yang terlibat dalam acara ini, bagaimana menari gelang bawo yang sebenarnya. Setiap hendak melakukan sesuatu terlebih dahulu diucapkan mantra-mantra yang dilakukan wadian yang terkenal dengan sebutan Nuak atau Luak Wadian. Setelah Nuak itu selesai disambut oleh pukulan kenong serta gendang dan gong yang digantung sedemikian rupa, semua alat yang dimainkan akan melahirkan nada-nada yang indah didalam mengiringi wadian yang melaksanakan acara tarian. Acara ini tidak terlepas dari ucapan terima kasih oleh pihak yang melakukan acara tersebut, kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi atas penyertaan dan perlindungan mereka selama ini. Serta ucapan terima kasih atas berkat yang dilimpahkan kepada kehidupan mereka selam ini, sehingga mereka dapat melakukan acara ini dengan selamat sampai selesai. Dalam acara Kuruwayu lebih ramai dari bontang , sesajen lebih rumit bila dibandingkan dari pada acara lainnya serta banyak kejadian yang langka justru dilakukan oleh wadian yang mengundang rasa haru dari masyarakat. Diatas telah diutarakan upacara ini merupakan upacara yang mempunyai tata nilai yang tertinggi dalam acara yang berkaitan dengan suka cita sebab ada 5 (lima) tingkatan kegiatan yang disebut Pasawetan dengan puja aneka warna dengan pengucapan Diki Hiyang Mandru. Lama penyelenggaraan acara Nguruwayu adalah 5 (lima) malam, kegiatan pada siang harinya berfokus pada kegiatan pembuatan sesajen untuk dipakai atau digunakan pada malam harinya begitu seterusnya sampai malam yang ter akhir. Penyebutan Nguruwayu sering digunakan oleh anggota masyarakat Kampung Sepuluh dan Benua Lima, sedangkan Kuruwayu sering dipakai atau disebut oleh suku Lawangan dengan cara pelaksanaannya tidak mempunyai perbedaan yang terlalu tajam hanya beda didalam penyebutan akan tetapi hukum dan aturannya sama. Demikian juga dengan Paju Epat juga ada mengadakan adat tentang suka cita yang disebut dengan Nguruwayu.
- Mira Kaiyat yang dilakukan oleh masyarakat Paju Epat yang berkaitan dengan acara suka cita, dilakukan oleh wadian dusun sama dengan Isirap kepada masyarakat Kampung Sepuluh, yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi atas penyertaaan mereka selam ini kepada keluarga yang bersangkutan. Dan bagi masyarakat Banua Lima juga ada acara suka cita akan tetapi sama dengan dilakukan oleh masyarakat kampung Sepuluh cara melakukannya. Tetapi ada perbedaan secara khusus pada Miempu menggunakan Wadian Diwa yang merupakan ciri khas dari daerah ini, dan tidak ditemukan diwilayah yang lain misalnya : Kampung Sepuluh, Pajut Epat dan Lawangan. Wadian Diwa biasanya dipakai untuk menyembuhkan orang sakit dan juga bisa dipakai atau dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat kesenangan. Irama untuk mengiring wadian tersebut lain dari yang lainnya, nama iraman gamelan khusus bagi wadian diwa ini disebut Dalang Dangking. Biasanya yang menjadi wadian diwa adalah seorang wanita. Wadian diwa juga bisa menari (Ikinsai) akan tetapi tidak menggunakan gelang sepertilayaknya seorang waadian yang lainnya, dan perlengkapannya sama dengan wadian yang lainnya. Pada uraian yang terdahulu pernah dikatakan bahwa masyarakat Lawangan merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari masyarakat Maanyan. Dari segi hukum adat dengan hukum adat masyarakat didaerah Kampung Sepuluh dan Banua Lima. Hanya terdapat perbedaan dari segi upacara ritual yang berkaitan dengan acara duka cita. Disamping itu juga masyarakat Lawangan mempunyai kaitan dengan masyarakat yang berada diwilayah Kalimantan Timur, secara khusus masyarakat Tonjong dan Benuaq. Kaitan dari kedua masyarakat tersebut diatas adalah dari segi bahasa maupun dari hal yang lainnya lagi mempunyai banyak kesamaan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat Lawangan juga dilakukan oleh masyarakat Dusun didaerah Pantai Barito, yang secar khusus masyarakat Dusun tersebut diatas tidak menjadi bahan penguraian dalam kesempatan ini. Upacara yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan dalam kaitannya acara ritual yakni Upacara yang berhubungan dengan suka cita dan berkaitan dengan acara ritual duka cita. Kedua acara tersebut ada kaitannya dengan yang dimiliki oleh masyarakat didaerah Kampung Sepuluh dan sekitarnya. Upacara yang ada kesamaannya tersebut adalah dalam kaitannya dengan acara suka cita, sedang yang acara duka cita terdapat perbedaan. Akan tetapi dari segi penyebutan atau peristilahan juga mengalami hal yang sam. Hal yang demikian itu tidak menjadi persoalan karena kesemuanya memuji kepada Hiyang Piumbung jaka Pikuluwi. Upacara ritual yang berkaitan dengan acara duka cita yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan berbeda jauh dengan upacara ritual masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan kepercayaan yang mereka imani memberikan ajaran yang mengatakan bahwa setiap orang yang meninggal dunia, pasti masuk Lumut Toro Tuntong walau dengan acara ritual yang paling sederhana mungkin. Hal yang demikian itu tidak terdapat dikalangan anggota masyarakat lainnya. Kita ambil contoh adalah upacara Miya yang dimiliki oleh masyarakat didaerah Kampung Sepuluh yang mengatakan bahwa setiap orang yang meninggal dunia tidak sampai ke Dato Tonyong Gahamari kalau tidak melalui upacara Miya atau Ngadaton. Sedangkan acara atau tingkatan Pankan Hanrueh Ngikap Tim'muk atau Pakan Tulakan, roh yang meninggal tersebut tidak masuk ke Dato Tonyong Gahamari. Hal inilah yang merupakan perbedaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut diatas.
Dalam kesempatan ini kita akan membicarakan upacara ritual yang dimiliki oleh anggota masyarakat Lawangan secara umum sifatnya.
Bagi masyarakat Lawangan bahwa upacara ritual yang berkaitan dengan duka cita mutlak untuk dilakukan agar roh orang yang telah meninggal tersebut dapat masuk Lumut Toro Tontong (Nirwana/Sorga). Menurut pemahaman anggota masyarakat Lawangan, orang yang meninggal tersebut dianggap oleh mereka adalah hanya memisahkan diri dari dunia ini sehingga rohnya dapat masuk kedunia yang lebih langgeng dan sempurna dari yang ada sekarang.
Bila anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga ada yang meninggal dunia maka dilihat apa profesinya selama ia masih hidup. Apabila profesinya sebagai wadian, kita ambil contoh maka segal peralatan sebagai seorang wadian dipasang pada mayat tersebut dan lalu didudukan pada sebuah gong. Sebagai tanda bahwa ada keluarga yang meninggal dunia, lalu dibunyikan gong selama tiga kali, yang pertama dibunyikan kearah matahari terbit. Kemudian dilanjutkan kearah matahari terbenam. Menghadap kedua arah mata angin tersebut membuktikan adanya kelahiran dan kematian didalam kehidupan manusia yang berada di dalam dunia ini.
Setelah mayat tersebut didudkan pada sebuah gong untuk beberapa saat, maka dimasukan kedalam peti mati yang biasanya terbuat dari pohon kayu durian atau Kalangkala. Bentuk peti mati tersebut juga ada perbedaan bagi seorang laki-laki dan bagi seorang perempuan.
Untuk peti mati laki-laki, dibagian ujungnya dari peti mati tersebut agak lancip. Sedangkan untuk yang perempuan tidak terdapat seperti peti mati laki-laki. Setelah mayat dimasukkan kedalam peti mati (Rarung, Tabala), sebagai dasar peti mati tersebut adalah 3 (tiga) potong batang pisang.
Upacara ritual yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan, dalam kaitannya dengan acara duka cita ini hanya ada 1 (satu) jenis upacara ritual, yakni apa yang disebut dengan istilah Wara. Upacara ritual wara tersebut terbagi lagi didalam beberapa tingkatan. Tingkat upacara tersebut disesuaikan dengan kemampuan anggota keluarga yang tengah mengalami kedukaan tersebut.
Biasanya upacara ritual yang dilakukan oleh maasyarakat Lawangan adalah mayat yang masih belum dikebumikan. Mayat bisa dikebumikan bila upacara telah selesai. Jenis upacara ritual yang dilakukan oleh anggota masyarakat disesuaikan dengan tingkat perekonomian orang yang tengah mengalami duka cita. Upacara ritual yang paling sederhana sifatnya adalah Wara 1 (satu) malam yang disebut dengan istilah Taruyang.
Dalam upacara ritual yang memakan waktu 1 (satu) malam ini menggunakan seekor ayam, babi dan kambing yang harus dipotong, sebagai sesajen yang harus disediakan. Demikian juga dalam acara ini juga diwajibkan adanya seorang wadian wara sangat menentukan sekali dalam acara ini. Sesajen tidak begitu banyak dan rumit kalau kita banding dengan sesajen yang diperlukan pada acara Miya bagi masyarakat Kampung Sepuluh dan sekitarnya.
PElayan yang mempersiapkan segala sesuatu sesajen untuk kepentingan upacara ritual wara tersebut disebut Pangadik Wara. Kalau pelayan tersebut pada upacara Miya disebut Pisam'be. Wadian wara tidak memakai Luwuk Pitutui (pisau) sebagai petunjuk jalan bagi roh orang yang meninggal dunia tersebut sampai ke tempat yang ditentukan. Sebagai pengganti Luwuk Pitutui tersebut ada istilah dalam wara yang disebut Ngatet Adiau yakni Wadian Wara memasuki sebuah perahu, sehingga didayung dengan menggunakan lemang (Pisake) dengan disertai mantera (Huyongan)dengan demikian orang atau roh yang meninggal itu sampai Lumut Toro Tontong tempat adiau bagi masyarakat Lawangan.
Dalam acara wara yang lebih tinggi tingkatan dari Taruyang adalah wara yang memakan waktu sampai dengan 5 (lima) hari, 7 (tujuh) hari dan wara yang memakan waktu 9 (sembilan) hari. Sedangkan pengertian wara 5 (lima) hari dan seterusnya adalah 3 (tiga) hari Mandre Bangkai serta 2 (dua) hari acara wara. Demikian juga dengan pengertian wara 7 (tujuh) hari maupun yang 9 (sembilan) hari.
Untuk upacara wara 5 (lima) hari diwajibkan mengorbankan kambing, babi serta ayam. Demikian juga dengan perlengkapan yang lainnya sama dengan wara yang 1 (satu) malam.
Akan tetapi wara yang lamanya 7 atau 9 (tujuh atau sembilan) hari diwajibkan untuk mengorbankan seekor kerbau dan binatang lainnya.
Tata aturan dalam upacara ritual waranya adalah sebagai berikut :
Tengkorang yang dapat dimasukan Tabala atau Kariring biasanya yang telah melakukan upacara ritual wara selama 7 (tujuh) dan 9 (sembilan) hari lamanya. Wara yang memakan waktu 5 (lima) hari dapat masuk Tabala dengan syarat melakukan kewajiban mengorbankan kerbau. Sedangkan yang melakukannya selama 7 (tujuh) hari bisa langsung masuk Tabala dan yang melakukannya selama 9 (sembilan) hari juga boleh langsung masuk Kariring.
Bentuk Tabala serta Kariring adalah pada bagian atas tempat menyimpan tengkorang kepala berbentuk naga dengan dihiasi ukiran yang sangat indah sekali. Perbedaan Tabala dengan Kariring yakni Tabala mempunyai tiang dua buah sedangkan Kariring mempunyai tiang satu buah. Taluh biasanya sebagai tempat menyimpan tulang atau rangka badan, sedangkan Tabala dengan Kariring biasanya tempat menyimpan tengkorak kepala setelah dilakukan pembokaran darai makam asalnya. Pada saat memasukan tengkorak kedalam Tabala maupun Kariring diharuskan membunuh seekor babi sebagai sesajennya. Dalam acara memasukan tengkorang kepala kedalam Tabala atau Kariring tidak menggunakan wadian. Nilai kesempurnaan yang diperoleh roh orang meninggal tersebut menurut kepercayaan masyarakat Lawangan setelah upacara wara adalah apabila beberapa tahun kemudian tengkorak kepala dimasukan kedalam Kariring. Apabila tengkorang kepala dapat masuk Kariring sempurnalah seluruh upacara ritual bagi masyarakat Lawangan, yang berkaitan dengan acara duka cita.
Apabila tengkorak kepala dari keluarga yang bersangkutan dapat masuk Kariring maka prestise keluarga menjadi baik dihadapan anggota lainnya.
Upacara wara tidak hanya dilakukan oleh masyarakat didaerah kecamatan Dusun Tengah melainkan juga dilakukan oleh masyarakat daerah Kotam, Bon'nai yang menamakan diri mereka dengan sebutan Dusun Daeh. Dari segi upacara kepercayaan masyarakat tersebut diatas mempunyai kesamaan dengan anggota masyarakat didaerah Ampah yang terletak sebelah utara dari kota Tamianglayang sekarang ini.
Bagi masyarakat Lawangan bahwa upacara ritual yang berkaitan dengan duka cita mutlak untuk dilakukan agar roh orang yang telah meninggal tersebut dapat masuk Lumut Toro Tontong (Nirwana/Sorga). Menurut pemahaman anggota masyarakat Lawangan, orang yang meninggal tersebut dianggap oleh mereka adalah hanya memisahkan diri dari dunia ini sehingga rohnya dapat masuk kedunia yang lebih langgeng dan sempurna dari yang ada sekarang.
Bila anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga ada yang meninggal dunia maka dilihat apa profesinya selama ia masih hidup. Apabila profesinya sebagai wadian, kita ambil contoh maka segal peralatan sebagai seorang wadian dipasang pada mayat tersebut dan lalu didudukan pada sebuah gong. Sebagai tanda bahwa ada keluarga yang meninggal dunia, lalu dibunyikan gong selama tiga kali, yang pertama dibunyikan kearah matahari terbit. Kemudian dilanjutkan kearah matahari terbenam. Menghadap kedua arah mata angin tersebut membuktikan adanya kelahiran dan kematian didalam kehidupan manusia yang berada di dalam dunia ini.
Setelah mayat tersebut didudkan pada sebuah gong untuk beberapa saat, maka dimasukan kedalam peti mati yang biasanya terbuat dari pohon kayu durian atau Kalangkala. Bentuk peti mati tersebut juga ada perbedaan bagi seorang laki-laki dan bagi seorang perempuan.
Untuk peti mati laki-laki, dibagian ujungnya dari peti mati tersebut agak lancip. Sedangkan untuk yang perempuan tidak terdapat seperti peti mati laki-laki. Setelah mayat dimasukkan kedalam peti mati (Rarung, Tabala), sebagai dasar peti mati tersebut adalah 3 (tiga) potong batang pisang.
Upacara ritual yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan, dalam kaitannya dengan acara duka cita ini hanya ada 1 (satu) jenis upacara ritual, yakni apa yang disebut dengan istilah Wara. Upacara ritual wara tersebut terbagi lagi didalam beberapa tingkatan. Tingkat upacara tersebut disesuaikan dengan kemampuan anggota keluarga yang tengah mengalami kedukaan tersebut.
Biasanya upacara ritual yang dilakukan oleh maasyarakat Lawangan adalah mayat yang masih belum dikebumikan. Mayat bisa dikebumikan bila upacara telah selesai. Jenis upacara ritual yang dilakukan oleh anggota masyarakat disesuaikan dengan tingkat perekonomian orang yang tengah mengalami duka cita. Upacara ritual yang paling sederhana sifatnya adalah Wara 1 (satu) malam yang disebut dengan istilah Taruyang.
Dalam upacara ritual yang memakan waktu 1 (satu) malam ini menggunakan seekor ayam, babi dan kambing yang harus dipotong, sebagai sesajen yang harus disediakan. Demikian juga dalam acara ini juga diwajibkan adanya seorang wadian wara sangat menentukan sekali dalam acara ini. Sesajen tidak begitu banyak dan rumit kalau kita banding dengan sesajen yang diperlukan pada acara Miya bagi masyarakat Kampung Sepuluh dan sekitarnya.
PElayan yang mempersiapkan segala sesuatu sesajen untuk kepentingan upacara ritual wara tersebut disebut Pangadik Wara. Kalau pelayan tersebut pada upacara Miya disebut Pisam'be. Wadian wara tidak memakai Luwuk Pitutui (pisau) sebagai petunjuk jalan bagi roh orang yang meninggal dunia tersebut sampai ke tempat yang ditentukan. Sebagai pengganti Luwuk Pitutui tersebut ada istilah dalam wara yang disebut Ngatet Adiau yakni Wadian Wara memasuki sebuah perahu, sehingga didayung dengan menggunakan lemang (Pisake) dengan disertai mantera (Huyongan)dengan demikian orang atau roh yang meninggal itu sampai Lumut Toro Tontong tempat adiau bagi masyarakat Lawangan.
Dalam acara wara yang lebih tinggi tingkatan dari Taruyang adalah wara yang memakan waktu sampai dengan 5 (lima) hari, 7 (tujuh) hari dan wara yang memakan waktu 9 (sembilan) hari. Sedangkan pengertian wara 5 (lima) hari dan seterusnya adalah 3 (tiga) hari Mandre Bangkai serta 2 (dua) hari acara wara. Demikian juga dengan pengertian wara 7 (tujuh) hari maupun yang 9 (sembilan) hari.
Untuk upacara wara 5 (lima) hari diwajibkan mengorbankan kambing, babi serta ayam. Demikian juga dengan perlengkapan yang lainnya sama dengan wara yang 1 (satu) malam.
Akan tetapi wara yang lamanya 7 atau 9 (tujuh atau sembilan) hari diwajibkan untuk mengorbankan seekor kerbau dan binatang lainnya.
Tata aturan dalam upacara ritual waranya adalah sebagai berikut :
- Pada hari ke-3 dari mandre Bangkai, langsung dilakukan kegiatan upacara ritual yang disebut dengan Wara.
- Pada hari mempersiapkan segala kegiatan yang berkaitan upacara wara dengan menyediakan hal yang berkaitan pada upacara tersebut.
- Hari yang ke-4 dalam upacara disebut Andrau Ngarapak. Pada acara tersebut biasanya ditandai oleh pelaksanaan adu ayam jago pada arena yang telah disediakan pada hari yang ke-3. Sedangkan pada malam harinya diadakan acara Tarung Nyunang seperti pada acara Miya didaerah Kampung Sepuluh dan sekitarnya. Dalam acara ini didahului dengan acara minum tuak yang kadar alkoholnya rendah. sebelum tuak tersebut dipersilakan untuk diminum oleh semua anggota yang hadir terlebih dahulu diadakan acara Enteng Sunang yang harus didahului oleh pembawa acara yang disebut Anak Tanggayungan. Pembawa acara ini mengajak semua yang hadir untuk minum tuak tersebut yang didahului dengan kata-kata yang pada intinya meminta dengan hormat untuk minum tuak tersebut. Permintaan tersebut sebagai bukti atau tanda rasa hormat dari yang melakukan acara wara kepada para tamu yang hadir. Kata-kata yang diutarakan oleh Anak Tanggayungan tersebut biasanya menggunakan bahasa satra yang tinggi nilainya.
- Pada hari ke-5 ada yang disebut Andrau Mansar. Hari yang terakhir dari rangkaian wara ang membutuhkan waktu selam 5 (lima) hari, pada hari itu bila kita kaitkan dengan acara miya adalah Andrau Nantak Syukur. Setelah acara Andrau Mansar ini selesai kemudian dilanjutkan dengan upacara penguburan mayat. Terhitung setelah acara ini, maka pada tiap tahunnya diadakan Ngatek Panuk. Dalam hal ini adalah memberikan sesajen kepada roh yang meninggal tersebut. Karena menurut kepercayaan masyarakat Lawangan selama tiga tahun roh yang meninggal itu masih bisa kembali kerumah keluarganya, maka selama 3 (tiga) tahun berturut-turut diadakan acara pemberian sesajen ke makam orang meninggal tersebut. Setelah tiga tahun semenjak acara wara selesai, roh orang tersebut tidak dapat kembali lagi seperti tiga tahun sebelumnya.
Tengkorang yang dapat dimasukan Tabala atau Kariring biasanya yang telah melakukan upacara ritual wara selama 7 (tujuh) dan 9 (sembilan) hari lamanya. Wara yang memakan waktu 5 (lima) hari dapat masuk Tabala dengan syarat melakukan kewajiban mengorbankan kerbau. Sedangkan yang melakukannya selama 7 (tujuh) hari bisa langsung masuk Tabala dan yang melakukannya selama 9 (sembilan) hari juga boleh langsung masuk Kariring.
Bentuk Tabala serta Kariring adalah pada bagian atas tempat menyimpan tengkorang kepala berbentuk naga dengan dihiasi ukiran yang sangat indah sekali. Perbedaan Tabala dengan Kariring yakni Tabala mempunyai tiang dua buah sedangkan Kariring mempunyai tiang satu buah. Taluh biasanya sebagai tempat menyimpan tulang atau rangka badan, sedangkan Tabala dengan Kariring biasanya tempat menyimpan tengkorak kepala setelah dilakukan pembokaran darai makam asalnya. Pada saat memasukan tengkorak kedalam Tabala maupun Kariring diharuskan membunuh seekor babi sebagai sesajennya. Dalam acara memasukan tengkorang kepala kedalam Tabala atau Kariring tidak menggunakan wadian. Nilai kesempurnaan yang diperoleh roh orang meninggal tersebut menurut kepercayaan masyarakat Lawangan setelah upacara wara adalah apabila beberapa tahun kemudian tengkorak kepala dimasukan kedalam Kariring. Apabila tengkorang kepala dapat masuk Kariring sempurnalah seluruh upacara ritual bagi masyarakat Lawangan, yang berkaitan dengan acara duka cita.
Apabila tengkorak kepala dari keluarga yang bersangkutan dapat masuk Kariring maka prestise keluarga menjadi baik dihadapan anggota lainnya.
Upacara wara tidak hanya dilakukan oleh masyarakat didaerah kecamatan Dusun Tengah melainkan juga dilakukan oleh masyarakat daerah Kotam, Bon'nai yang menamakan diri mereka dengan sebutan Dusun Daeh. Dari segi upacara kepercayaan masyarakat tersebut diatas mempunyai kesamaan dengan anggota masyarakat didaerah Ampah yang terletak sebelah utara dari kota Tamianglayang sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar