Orang Maanyan sebagaimana golongan penduduk di Nusantara yakni Sunda, Jawa, Bali, Batak, Minangkabau dan lainnya, termasuk dalam rumpun penduduk Austronesia. Menurut dugaan, mereka berasal dari Hindia Belakang, sekitar 2000 tahun SM, serta berdiam di wilayah Nusantara ini secara khusus dibagian selatan pulau Kalimantan .
Mereka berlayar dengan menggunakan perahu yang besar disebut Sambau/weta/banawa. Kelompok yang melakukan pelayaran itu, adalah dari satu keturunan.
Dengan menggunakan sambau tadi, kelompok ini melakukan pelayaran dilaut, dengan tujuan yang belum pasti. Yang jelas tujuan mereka itu adalah ke arah selatan. Sebagai pedoman untuk menentukan arah dilaut, mereka bisa membaca gerak bintang dan bulan pada malam hari, serta sewaktu siang hari untuk menentukan arah perahu mereka.
Bintang Salib Selatan atau Krux yang terlihat pada bulan Maret dikaki langit sebelah timur pada sore hari, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore hari dikaki langit sebelah barat pada bulan September.
Bintang Orion, Taurus dan Peades yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur pada bulan Desember, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore hari dikaki langit sebelah barat pada bulan Mei.
Bintang Aquilla, Vega dan Lira yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur pada bulan Juni, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam dikaki langit sebelah barat pada sore hari pada bulan November.
Penyebaran orang Maanyan dari Hindia Belakang, memilih berangkat pada bulan April sampai bulan Oktober, karena cuaca pada saat itu cukup baik untuk mengadakan pelayaran. Waktu siang hari cuacanya terang untuk melihat matahari, serta dimalam hari cuacanya cukup cerah untuk melihat bulan dan bintang, sebagai pedoman menentukan arah.
Dalam pelayaran mereka ke Nusantara orang Maanyan melalui Teluk Tongkin, terus mengarungi Laut Cina Selatan dan menyusuri pesisir pantai Semenanjung Malaka. Kemudian masuk Laut Jawa bagian utara seterusnya masuk Selat Madura dan akhirnya mendarat di pantai Gresik, yang dalam lafal orang Maanyan menjadi Garasik.
Akan tetapi kehidupan di wilayah ini sudah ada, sehingga mereka sulit berintegrasi dengan penduduk setempat, lalu kelompok ini bergerak lagi kearah utara dan akhirnya membuka tempat pemukiman baru di pulau Kalimantan bagian selatan. Di tempat mereka yang baru ini, mereka mengadakan pemukiman dengan kehidupan yang baru pula. Sebagaimana layaknya kelompok anggota masyarakat lainnya, mereka juga mempunyai tempat tinggal yang menetap. Dibagian selatan pulau Kalimantan mereka tetapkan sebagai daerah pemukiman baru, untuk mengganti tempat asal mereka di Hindia Belakang. Adapun wilayah orang Maanyan itu ialah : Tane Karang Anyan, Tane Karangan Lala atau Liang Anggan, Kayu Tangi, dan Gunung Pamaton.
Di daerah mereka yang baru tersebut mereka jadikan sebagai pemukiman yang tidak mengalami perpindahan, sebab wilayah ini masih belum ada penduduknya. Hal itu memungkinkan mereka berusaha untuk mengadakan adaptasi dengan lingkungan baru serta kehidupan yang baru pula. Kelompok masyarakat yang bermukim dibagian selatan pulau Kalimantan itu, termasuk kelompok yang berbahasa Austronesia. Hal ini disebabkan cara mengucapkan bahasa-bahasa yang sama, dapat digolongkan bersama dengan bahasa-bahasa Indonesia, Filipina, Taiwan dan Madagaskar di lepas pantai timur Afrika.
Sedangkan kalau dilihat dari segi keadaan fisik, penduduk yang mendiami pulau Kalimantan, secara khusus orang Maanyan dapat digolongkan kedalam Malayan Mongoloid. Orang Maanyan selain mendiami pulau Kalimantan, mereka juga mendiami pulau Madagaskar dilepas pantai tumur Afrika.
Ada dua pendapat tentang keberadaan orang Maanyan di pulau Madagaskar.
Pendapat Pertama : Orang Maanyan berada di pulau Madagaskar karena perahu mereka terpisah dilautan sewaktu menuju kepulauan Nusantara.
Berdasarkan pendapat para ahli linguistik, pernah memperhitungkan dengan metode-metode lexico-statistik bahwa bahasa maanyan di Kalimantan terpisah dari lain-lain bahasa Indonesia bagian barat, kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Para ahli tersebut berpendapat bahwa sewaktu orang Maanyan berlayar menuju arah selatan perahu mereka terkena serangan angin ribut, sehingga sebagian menuju pulau Kalimantan dan sebagian lainnya terdampar di pulau Madagaskar.
Gabriel Ferrand berpendapat bahwa sebelum abad pertama Masehi banyak datang orang-orang negro Bantu dari benua Afrika lalu menetap di Madagaskar.
Kalau pendapat para ahli linguistik dan Gabriel Ferrand itu benar, tentunya orang Maanyan dan orang-orang Negro Bantu banyak menyebar ke segala penjuru pulau. Sedangkan dalam kenyatannya pada abad ke-15, ketika bangsa Portugis datang ke pulau Madagaskar orang Maanyan atau suku Merina hanya berpusat disatu tempat yaitu ditengah-tengah pulau dan orang-orang Negro Bantu bermukim pada sepanjang pantai sebelah barat dan selatan pulau Madagaskar, ditambah beberapa suku lainnya.
Berdasarkan hasil galian arkeologi yang dilakukan oleh Neville Chittick, pada sebuah kuburan tua milik orang kaya dari masyarakat Islam di Iharana dekat kota Vohemar yang modern terletak disebelah timur-laut pulau Madagaskar, telah ditemukan mata uang emas dari zaman Kalifah Fatimah abad ke-10 dang kepingan uang emas dari abad ke-12.
Dari hasil galian arkeologi itu, diketahui pada abad ke-10 menjelang abad ke-12 atau pada awal ke-13, orang-orang Negro Bantu dan suku-suku lainnya datang secara bergelombang ke pulau Madagaskar hingga memasuki abad ke-15.
Raymont Kent, seorang ahli sejarah bangsa Amerika, berpendapat bahwa orang-orang Negro Bantu yang ada di pulau Madagaskar sebagian berasal dari para budak dan yang lainnya berasal dari masyarakat umum yang bukan keturunan budak.
Orang-orang Negro Bantu asal Sofala dan pantai timur benua Afrika bermigrasi ke pulau Madagaskar, karena tertarik oleh cerita-cerita para pedagang bangsa Arab yang pulang pergi ke pulau tersebut akan kesuburan tanahnya.
Keterangan lain yang diperoleh dari seorang ahli ilmu bumi bangsa Arab asal Baghdad, bernama Al-Mas'udi bergelar Abu'lhasan yang telah datang ke pulau Madagaskar pada tahun 930 dan tahun 940, meninggal dunia dalam tahun 956, tidak pernah menyebutkan bertemu dengan orang Maanyan atau orang-orang dari kepulauan Nusantara lainnya serta orang-orang Negro Bantu yang telah bermukim di pulau tersebut.
Selain daripada itu tidak pernah terdengar adanya perang suku diantara beberapa suku bangsa yang ada di pulau Madagaskar sampai abad ke-18. Perang suku atau perang antara kerajaan-kerajaan kecil di pulau itu mulai timbul setelah raja Merina yang bernama Andrianampoinimerina naik tahta pada tahun 1787.
Raja Andrianampoinimerina ingin mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pulau tersebut didalam kesatuan kerajaan Merina. Kebijaksanaannya itu kemudian diteruskan oleh raja Radama I yang bertahta dari tahun 1810-1828.
Pendapat Kedua : Orang Maanyan pelopor penyeberangan ke pulau Madagaskar.
Otto Christian Dahl, dalam bukunya Malgache et Ma'anyan une Comparasion Linguistique tahu 1951, dalam kesimpulannya mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 400.
Roland Oliver dan Brian M.Fagan, dalam bukunya Africa in the Iron Age tahun 1978, mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945-946, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik.
Dari syair-syair dalam tembang tradisional orang Maanyan kuno yang dinamakan tomet-leot, mereka telah menemukan sebuah pulau yang sepi tidak berpenduduk, lalu mereka namakan pulau itu Tane Punei Lului. Dalam syair-syair tomet-leot tersebut dijelaskan juga petunjuk tempat-tempat yang harus dilewati ketika mengadakan pelayaran menuju ke pulau Madagaskar.
Kalau kita tinjau keadaan di Nusantara pada tahun 400, maka waktu itu di Kalimantan Timur berdiri sebuah kerajaan Hindu dengan rajanya yang pertama bernama Mulawarman.
Boleh jadi waktu itu ada orang India atau orang beragama Hindu singgah di Kalimantan Selatan lalu memberitahukan bahwa ada kerajaan Hindu baru berdiri di Kalimantan Timur. Berita itu membuat orang orang Maanyan yang masih kuat menganut kepercayaan terhadap roh para leluhur merasa akan tersingkir, sehingga sebagian dari mereka yang masih berjiwa petualangan, mencoba mencari tempat pemukiman baru di luar Kalimantan Selatan dan pada akhirnya menemukan pulau Madagaskar.
Mungkin beberapa tahun kemudian, mereka yang mengadakan petualangan itu kembali ke pulau Kalimantan lalu mengetahui bahwa raja Mulawarman tidak bersifat agresif untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga orang-orang Maanyan yang ada di Kalimantan Selatan tidak perlu merasa khawatir.
Tetapi kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929-947, maka orang Maanyan yang ada di Kalimantan Selatan sebagian mengadakan evakuasi ke pulau Madagaskar yang telah mereka ketahui letaknya, dari tahun 945-946.
Kepergian mereka itu untuk menghidari kemungkinan serangan Sriwijaya yang pada akhirnya sampai juga ke pulau Kalimantan bagian selatan. Masyarakat lainnya karena sayang meninggalkan harta miliknya berupa kebun buah-buahan dan lain-lainnya, tetap bertahan walau bagaimanapun yang akan terjadi.
Dari pulau Kalimantan bagian selatan mereka berlayar menyusuri Tanjung Silat, masuk selat Bali, terus menyusuri lepas pantai selatan pulau Jawa. Setelah lepas dari ujung pulau Jawa, perahu mereka sebagaimana perahu pendahulu mereka, yaitu para petualang pada abad ke-1, terbawa arus khatulistiea (summer aquatorial current) di lautan Hindia. Dengan terbawa arus khatulistiwa tersebut mereka pada akhirnya sampai ke pulau Madagaskar. Ditempat yang baru itu mereka memulai membuat pemukiman serta kehidupan dan penghidupan yang baru pula serta beradaptasi dengan alam lingkungan yang baru.
Karena cara bertani mereka lakukan masih dengan cara perladangan yang berpindah-pindah, sehingga akhirnya mereka sampai pada bagian tengah pulau tersebut.
Perjalanan waktu membuat orang Maanyan Madagaskar atau dikenal orang Merina, zaman raja Radama I, telah menerima kedatangan Zending yang dibawa oleh INggris ke pulau tersebut, sehingga membuat kemajuan yang berarti bagi kelompok mereka, dibandingkan dengan suku-suku lainnya di pulau tersebut.
Cilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun, menyebutkan bahwa di Madagaskar ada orang Maanyan dan di Indragiri terdapat orang Banjar.
Walaupun hubungan antara orang Maanyan Madagaskar dan orang Maanyan Kalimantan tidak lagi berjalan seperti dahulu kala, akan tetapi sering touris asal Madagaskar apabila berkunjung ke Indonesia selalu bertanya dimana letak Pulau-Patai dan daerah-daerah lainnya, karena Kalimantan Selatan adalah tempat asal nenek moyang mereka.
Pada tahun 1984, pernah diminta alat-alat kesenian tradisional milik suku dayak Maanyan melewati Biro Perlengkapan Departemen Luar negeri, yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Rusli Djohari, Bc.Kn.
Dengan adanya pengiriman alat-alat kesenian tradisional terebut diharapkan akan mudah mengadakan komunikasi dengan anggota masyarakat secara umum, khususnya antara suku Merina dari Madagaskar dengan suku dayak Maanyan ynag ada di Kalimantan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Apabila hubungan bisa terjalin kembali maka akan mudah mengadakan tukar menukar pikiran serta pandangan mengenai adat-istiadat, sosial budaya, hukum serta struktur kemasyarakatan dan lain sebagainya, antara anggota masyarakat suku dayak Maanyan dengan suku Merina yang ada di pulau Madagaskar.
Dengan terjalinnya hubungan yang baik, akan lebih banyak bisa dipelajari latar belakang kedua suku ini.
Mereka berlayar dengan menggunakan perahu yang besar disebut Sambau/weta/banawa. Kelompok yang melakukan pelayaran itu, adalah dari satu keturunan.
Dengan menggunakan sambau tadi, kelompok ini melakukan pelayaran dilaut, dengan tujuan yang belum pasti. Yang jelas tujuan mereka itu adalah ke arah selatan. Sebagai pedoman untuk menentukan arah dilaut, mereka bisa membaca gerak bintang dan bulan pada malam hari, serta sewaktu siang hari untuk menentukan arah perahu mereka.
Bintang Salib Selatan atau Krux yang terlihat pada bulan Maret dikaki langit sebelah timur pada sore hari, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore hari dikaki langit sebelah barat pada bulan September.
Bintang Orion, Taurus dan Peades yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur pada bulan Desember, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam pada sore hari dikaki langit sebelah barat pada bulan Mei.
Bintang Aquilla, Vega dan Lira yang terlihat pada sore hari dikaki langit sebelah timur pada bulan Juni, akan terlihat selama enam bulan, kemudian tenggelam dikaki langit sebelah barat pada sore hari pada bulan November.
Penyebaran orang Maanyan dari Hindia Belakang, memilih berangkat pada bulan April sampai bulan Oktober, karena cuaca pada saat itu cukup baik untuk mengadakan pelayaran. Waktu siang hari cuacanya terang untuk melihat matahari, serta dimalam hari cuacanya cukup cerah untuk melihat bulan dan bintang, sebagai pedoman menentukan arah.
Dalam pelayaran mereka ke Nusantara orang Maanyan melalui Teluk Tongkin, terus mengarungi Laut Cina Selatan dan menyusuri pesisir pantai Semenanjung Malaka. Kemudian masuk Laut Jawa bagian utara seterusnya masuk Selat Madura dan akhirnya mendarat di pantai Gresik, yang dalam lafal orang Maanyan menjadi Garasik.
Akan tetapi kehidupan di wilayah ini sudah ada, sehingga mereka sulit berintegrasi dengan penduduk setempat, lalu kelompok ini bergerak lagi kearah utara dan akhirnya membuka tempat pemukiman baru di pulau Kalimantan bagian selatan. Di tempat mereka yang baru ini, mereka mengadakan pemukiman dengan kehidupan yang baru pula. Sebagaimana layaknya kelompok anggota masyarakat lainnya, mereka juga mempunyai tempat tinggal yang menetap. Dibagian selatan pulau Kalimantan mereka tetapkan sebagai daerah pemukiman baru, untuk mengganti tempat asal mereka di Hindia Belakang. Adapun wilayah orang Maanyan itu ialah : Tane Karang Anyan, Tane Karangan Lala atau Liang Anggan, Kayu Tangi, dan Gunung Pamaton.
Di daerah mereka yang baru tersebut mereka jadikan sebagai pemukiman yang tidak mengalami perpindahan, sebab wilayah ini masih belum ada penduduknya. Hal itu memungkinkan mereka berusaha untuk mengadakan adaptasi dengan lingkungan baru serta kehidupan yang baru pula. Kelompok masyarakat yang bermukim dibagian selatan pulau Kalimantan itu, termasuk kelompok yang berbahasa Austronesia. Hal ini disebabkan cara mengucapkan bahasa-bahasa yang sama, dapat digolongkan bersama dengan bahasa-bahasa Indonesia, Filipina, Taiwan dan Madagaskar di lepas pantai timur Afrika.
Sedangkan kalau dilihat dari segi keadaan fisik, penduduk yang mendiami pulau Kalimantan, secara khusus orang Maanyan dapat digolongkan kedalam Malayan Mongoloid. Orang Maanyan selain mendiami pulau Kalimantan, mereka juga mendiami pulau Madagaskar dilepas pantai tumur Afrika.
Ada dua pendapat tentang keberadaan orang Maanyan di pulau Madagaskar.
Pendapat Pertama : Orang Maanyan berada di pulau Madagaskar karena perahu mereka terpisah dilautan sewaktu menuju kepulauan Nusantara.
Berdasarkan pendapat para ahli linguistik, pernah memperhitungkan dengan metode-metode lexico-statistik bahwa bahasa maanyan di Kalimantan terpisah dari lain-lain bahasa Indonesia bagian barat, kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Para ahli tersebut berpendapat bahwa sewaktu orang Maanyan berlayar menuju arah selatan perahu mereka terkena serangan angin ribut, sehingga sebagian menuju pulau Kalimantan dan sebagian lainnya terdampar di pulau Madagaskar.
Gabriel Ferrand berpendapat bahwa sebelum abad pertama Masehi banyak datang orang-orang negro Bantu dari benua Afrika lalu menetap di Madagaskar.
Kalau pendapat para ahli linguistik dan Gabriel Ferrand itu benar, tentunya orang Maanyan dan orang-orang Negro Bantu banyak menyebar ke segala penjuru pulau. Sedangkan dalam kenyatannya pada abad ke-15, ketika bangsa Portugis datang ke pulau Madagaskar orang Maanyan atau suku Merina hanya berpusat disatu tempat yaitu ditengah-tengah pulau dan orang-orang Negro Bantu bermukim pada sepanjang pantai sebelah barat dan selatan pulau Madagaskar, ditambah beberapa suku lainnya.
Berdasarkan hasil galian arkeologi yang dilakukan oleh Neville Chittick, pada sebuah kuburan tua milik orang kaya dari masyarakat Islam di Iharana dekat kota Vohemar yang modern terletak disebelah timur-laut pulau Madagaskar, telah ditemukan mata uang emas dari zaman Kalifah Fatimah abad ke-10 dang kepingan uang emas dari abad ke-12.
Dari hasil galian arkeologi itu, diketahui pada abad ke-10 menjelang abad ke-12 atau pada awal ke-13, orang-orang Negro Bantu dan suku-suku lainnya datang secara bergelombang ke pulau Madagaskar hingga memasuki abad ke-15.
Raymont Kent, seorang ahli sejarah bangsa Amerika, berpendapat bahwa orang-orang Negro Bantu yang ada di pulau Madagaskar sebagian berasal dari para budak dan yang lainnya berasal dari masyarakat umum yang bukan keturunan budak.
Orang-orang Negro Bantu asal Sofala dan pantai timur benua Afrika bermigrasi ke pulau Madagaskar, karena tertarik oleh cerita-cerita para pedagang bangsa Arab yang pulang pergi ke pulau tersebut akan kesuburan tanahnya.
Keterangan lain yang diperoleh dari seorang ahli ilmu bumi bangsa Arab asal Baghdad, bernama Al-Mas'udi bergelar Abu'lhasan yang telah datang ke pulau Madagaskar pada tahun 930 dan tahun 940, meninggal dunia dalam tahun 956, tidak pernah menyebutkan bertemu dengan orang Maanyan atau orang-orang dari kepulauan Nusantara lainnya serta orang-orang Negro Bantu yang telah bermukim di pulau tersebut.
Selain daripada itu tidak pernah terdengar adanya perang suku diantara beberapa suku bangsa yang ada di pulau Madagaskar sampai abad ke-18. Perang suku atau perang antara kerajaan-kerajaan kecil di pulau itu mulai timbul setelah raja Merina yang bernama Andrianampoinimerina naik tahta pada tahun 1787.
Raja Andrianampoinimerina ingin mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pulau tersebut didalam kesatuan kerajaan Merina. Kebijaksanaannya itu kemudian diteruskan oleh raja Radama I yang bertahta dari tahun 1810-1828.
Pendapat Kedua : Orang Maanyan pelopor penyeberangan ke pulau Madagaskar.
Otto Christian Dahl, dalam bukunya Malgache et Ma'anyan une Comparasion Linguistique tahu 1951, dalam kesimpulannya mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 400.
Roland Oliver dan Brian M.Fagan, dalam bukunya Africa in the Iron Age tahun 1978, mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945-946, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik.
Dari syair-syair dalam tembang tradisional orang Maanyan kuno yang dinamakan tomet-leot, mereka telah menemukan sebuah pulau yang sepi tidak berpenduduk, lalu mereka namakan pulau itu Tane Punei Lului. Dalam syair-syair tomet-leot tersebut dijelaskan juga petunjuk tempat-tempat yang harus dilewati ketika mengadakan pelayaran menuju ke pulau Madagaskar.
Kalau kita tinjau keadaan di Nusantara pada tahun 400, maka waktu itu di Kalimantan Timur berdiri sebuah kerajaan Hindu dengan rajanya yang pertama bernama Mulawarman.
Boleh jadi waktu itu ada orang India atau orang beragama Hindu singgah di Kalimantan Selatan lalu memberitahukan bahwa ada kerajaan Hindu baru berdiri di Kalimantan Timur. Berita itu membuat orang orang Maanyan yang masih kuat menganut kepercayaan terhadap roh para leluhur merasa akan tersingkir, sehingga sebagian dari mereka yang masih berjiwa petualangan, mencoba mencari tempat pemukiman baru di luar Kalimantan Selatan dan pada akhirnya menemukan pulau Madagaskar.
Mungkin beberapa tahun kemudian, mereka yang mengadakan petualangan itu kembali ke pulau Kalimantan lalu mengetahui bahwa raja Mulawarman tidak bersifat agresif untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga orang-orang Maanyan yang ada di Kalimantan Selatan tidak perlu merasa khawatir.
Tetapi kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929-947, maka orang Maanyan yang ada di Kalimantan Selatan sebagian mengadakan evakuasi ke pulau Madagaskar yang telah mereka ketahui letaknya, dari tahun 945-946.
Kepergian mereka itu untuk menghidari kemungkinan serangan Sriwijaya yang pada akhirnya sampai juga ke pulau Kalimantan bagian selatan. Masyarakat lainnya karena sayang meninggalkan harta miliknya berupa kebun buah-buahan dan lain-lainnya, tetap bertahan walau bagaimanapun yang akan terjadi.
Dari pulau Kalimantan bagian selatan mereka berlayar menyusuri Tanjung Silat, masuk selat Bali, terus menyusuri lepas pantai selatan pulau Jawa. Setelah lepas dari ujung pulau Jawa, perahu mereka sebagaimana perahu pendahulu mereka, yaitu para petualang pada abad ke-1, terbawa arus khatulistiea (summer aquatorial current) di lautan Hindia. Dengan terbawa arus khatulistiwa tersebut mereka pada akhirnya sampai ke pulau Madagaskar. Ditempat yang baru itu mereka memulai membuat pemukiman serta kehidupan dan penghidupan yang baru pula serta beradaptasi dengan alam lingkungan yang baru.
Karena cara bertani mereka lakukan masih dengan cara perladangan yang berpindah-pindah, sehingga akhirnya mereka sampai pada bagian tengah pulau tersebut.
Perjalanan waktu membuat orang Maanyan Madagaskar atau dikenal orang Merina, zaman raja Radama I, telah menerima kedatangan Zending yang dibawa oleh INggris ke pulau tersebut, sehingga membuat kemajuan yang berarti bagi kelompok mereka, dibandingkan dengan suku-suku lainnya di pulau tersebut.
Cilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun, menyebutkan bahwa di Madagaskar ada orang Maanyan dan di Indragiri terdapat orang Banjar.
Walaupun hubungan antara orang Maanyan Madagaskar dan orang Maanyan Kalimantan tidak lagi berjalan seperti dahulu kala, akan tetapi sering touris asal Madagaskar apabila berkunjung ke Indonesia selalu bertanya dimana letak Pulau-Patai dan daerah-daerah lainnya, karena Kalimantan Selatan adalah tempat asal nenek moyang mereka.
Pada tahun 1984, pernah diminta alat-alat kesenian tradisional milik suku dayak Maanyan melewati Biro Perlengkapan Departemen Luar negeri, yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Rusli Djohari, Bc.Kn.
Dengan adanya pengiriman alat-alat kesenian tradisional terebut diharapkan akan mudah mengadakan komunikasi dengan anggota masyarakat secara umum, khususnya antara suku Merina dari Madagaskar dengan suku dayak Maanyan ynag ada di Kalimantan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Apabila hubungan bisa terjalin kembali maka akan mudah mengadakan tukar menukar pikiran serta pandangan mengenai adat-istiadat, sosial budaya, hukum serta struktur kemasyarakatan dan lain sebagainya, antara anggota masyarakat suku dayak Maanyan dengan suku Merina yang ada di pulau Madagaskar.
Dengan terjalinnya hubungan yang baik, akan lebih banyak bisa dipelajari latar belakang kedua suku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar